66. Sudut Pandang

10.1K 1.5K 71
                                    

Kesehatannya sudah pulih dengan baik, gadis itu benar-benar pegaruh buruk. Bahkan dia sampai membuat kesalahan besar.

Satu Putranya terluka parah, tapi dia tidak bisa berkontak langsung dengan orang lain untuk beberapa saat, semua agar pemulihan yang ia lakukan. Pengaruh sihir hitam sangat kuat, dia harus memurnikan kembali semuanya agar dia bisa ikut turun ke medan perang. Cukup Brandon saja, tidak dengan yang lain. Bahkan jika bisa Brandon tidak perlu mengalami semua ini.

"Ren." Astevia memanggil Ren yang sedang berdiri di depan pintu rumah kecil yang mereka tinggal. "Kita bisa pergi, kan?"

"Ya," Ren mengangguk. "Pangeran Bungsu sudah jauh lebih baik."

Astevia mengangguk. "Ayo pergi."

Sebuah portal dibuka oleh Ren, sihir seekor Phoenix bisa disandingkan dengan Naga Semesta, yang tidak lain dan bukan adalah saudaranya sendiri. Kalau dibandingkan mungkin Rusta yang berada di urutan terbawah diantara perbandingan kekuatan diantara mereka, tapi tetap saja kalau harus saling melawan satu sama lain, akan seimbang. Rusta sekuat itu. Walau tubuhnya paling kecil diantara yang lain.

Portal itu terbuka di belakang tenda tempat kemah pasukan Ambertia. Semua tampak melakukan aktivitas masing-masing. Kebanyakan kelihatan terluka cukup parah dan sedang beristirahat.

"Sepertinya sihir sudah bisa digunakan lagi." Ren berjalan di samping Astevia.

Kenapa Brandon sampai di bawa ke Istana tentu ada alasannya, sihir yang tidak bisa digunakan. Tapi tampaknya sekarang semua mulai membaik lagi, beberapa penyihir tampak mengobati para prajurit yang terluka.

"Ayah," Itu Sylvester. Ada luka di lengan Putra ketiganya itu. "Kenapa Ayah kemari?"

Astevia menatap perban lengan Sylvester, kaki Sylvester agak pincang saat berjalan tadi. Sepertinya pasukan mereka cukup kewalahan.

"Istirahatlah." Astevia menepuk bahu Astevia.

Phil yang sedang membawa beberapa obat-obatan berhenti saat melihat Ayahnya. "Ayah disini.."

Astevia mengangguk. "Kau tampak kewalahan."

Phil menghela nafas. "Disini agak kacau."

Astevia mengangguk. "Istirahatlah, Phil."

Phil diam, dia menatap Ayah mereka yang berjalan masuk ke dalam tenda. Ah, Ayah mereka belum tau jika Anstia tiba-tiba menghilang. Phil tau, tapi ini belum waktunya.

"Jalvier."

Jalvier duduk di sebuah kursi dengan mata menatap fokus pada peta, Pangeran keempat dari enam bersaudara itu menoleh.

"Ayah?" Jalvier berdiri. "Kenapa Ayah disini? Ayah baik-baik saja?"

"Istirahatlah." Jalvier mengerutkan kening. "Dimana Anastia?"

Jalvier menghela nafas, menggeleng pelan. "Dia menghilang sejak beberapa hari yang lalu, para rohnya tidak ada yang tau. Bahkan mereka berubah bisu seperti tidak bisa berkomunikasi."

Astevia mengerutkan kening. "Menghilang?" Putrinya menghilang? Bagaimana bisa? "Kalian sudah mencarinya?"

Jalvier mengangguk. "Kami sudah mencari ke seluruh daerah sekitar sini, tapi tidak ditemukan. Kami berencana ingin menyerang ke daerah musuh. Disana satu-satunya tempat yang belum kami periksa."

Anstia bisa saja ada disana. Di tempat para penyihir terkutuk itu. Orang-orang itu sangat mengincar Anstia, jadi saat kesempatan seperti ini ada tentunya akan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.

"Kapan kalian akan menyerang?" Astevia meraih kursi dan duduk di sana, sedangkan Ren hanya berdiri dibelakang tuannya. Untuk sekarang dia harus tenang.

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now