67. Beberapa Hal Yang Tersembunyi

8.8K 1.5K 15
                                    

Semua hidup seperti semestinya. Namun semua terlalu kentara.

Alasan Astevia menolak untuk memiliki selir atau bahkan memiliki banyak anak adalah satu hal.

Perebutan Taktha.

Bukan sedikit hal yang dikorbankan untuk mencapai posisi tersebut, bahkan dulu Astevia tidak menginginkan posisinya saat ini. Terlalu banyak tanggung jawab.

Seperti yang telah diprediksikan, anak-anak itu dipaksa untuk menjadi seorang sosok yang paling pantas untuk meneruskan kursi paling tinggi di Kerajaan mereka. Entah dengan cara apapun.

Ada banyak laporan yang datang pada Astevia, mengatakan anak-anak itu semua mendapat perlakukan tidak manusiawi dari Ibu mereka.

Kadang, Astevia meminta pada Ratunya, Ratu Kanessa untuk menjaga anak-anak itu. Karena Astevia tau mereka tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapat.

Astevia sering melihat Hilberth yang dipaksa belajar mati-matian oleh Ibunya, atau Sylvester yang tangannya tidak pernah lepas dari perban dan luka, atau Jalvier yang berkali-kali harus menangis karena tidak bisa jadi seperti apa yang sang Ibu mau.

Dan Brandon. Si paling bungsu yang bahkan selalu menyendiri di bawah pohon, melamun seperti tidak memiliki harapan lagi. Padahal umurnya masih sangat muda, itu belum porsinya.

Tahun-tahun berganti, Ratu Kanessa kembali mengandung dan menimbulkan rasa iri diantara semua selir yang ada. Kaisar tidak pernah datang pada mereka dan sekarang Ratu mengandung. Mereka tidak bisa mendapatkan perhatian Kaisar, itu membuat mereka marah.

Hilberth, Sylvester, Jalvier, Brandon dan Phil bermain bersama, tapi itu hanya saat Ratu memanggil mereka. Karena di luar itu terutama ketika bersama Ibu mereka, semua orang itu dianggap musuh. Mereka bahkan dilarang berteman satu sama lain.

Saat Ratu mengandung mereka semua tampak sangat bahagia, tentunya karena mereka akan memiliki adik, walau berbeda Ibu.

Mereka semua menyayangi Ratu, karena satu-satunya yang memberikan kasih sayang seorang Ibu yang seharusnya mereka dapatkan adalah Ratu bukan Ibu kandung mereka.

Ketika hari bersalin tiba, semua kacau.

Ratu dinyatakan meninggal setelah melahirkan, semua disebabkan oleh pendarahan hebat yang terjadi.

Seisi Istana berduka, termasuk Phil yang paling tidak terima dengan apa yang terjadi.

Ibunya pergi karena adiknya lahir. Dia membenci adiknya sejak saat itu, bahkan dia tidak melihat wajah adiknya itu sama sekali.

Astevia terpukul oleh kepergian Ratunya.

Ketika pemakaman terjadi, semua semakin rumyam. Ada sebuah fakta yang ditemukan.

Ratu pendarahan karena sebuah obat. Tepatnya sebuah rempah yang seharusnya tidak diberikan pada seorang wanita hamil, itulah kenapa Ratu melahirkan lebih cepat dari waktunya.

Semua tuduhan terarah pada Ibu Sylvester, tapi semua terhubung pada Ibu Brandon, Hilberth dan Jalvier. Dengan kata lain, para selir Raja memang bekerja sama untuk melenyapkan Ratu yang selama ini mereka anggap sebagai penghalang.

Kaisar yang tidak lagi dapat menahan amarahnya akhirnya melakukan hal yang sempat membuat Kerajaannya sendiri hancur.

Dia melenyapkan, menghabiskan semua nyawa yang ada di Istana, terutama yang berhubungan dengan para selir, bahkan keluarga para selir juga dihabisi.

Hari keempat setelah kematian Ratu, Istana menjadi lautan darah. Tidak ada yang bisa menghentikan Kaisar saat itu.

"Ayah.. "

Astevia menatap anaknya, laki-laki kecil berambut silver yang memegang sebuah pisau dengan tangannya yang sudah berdarah.

"Aku.. Sudah berdarah... Aku sudah dimaafkan, kan?" Mata hijau cerah itu menatap Asteria yang seluruh pakaiannya sudah dipenuhi oleh darah. "Ibu.. Juga.."

Astevia terdiam.

"Tapi.. Darah Ibu lebih banyak.. " Brandon dengan tangan penuh dengan darah menatap tubuh Ibunya yang tergeletak tidak jauh darinya.

Brandon berbaring, sama persis dengan yang Ibunya lalukan. "Ibu bilang, aku harus ikut apa yang Ibu lakukan..." Brandon menatap Ayahnya. "Tapi darahku kurang banyak.. "

Brandon berbalik, membuat tubuhnya menghadap ke arah depan. Dia menatap Ayahnya. "Ayah saja yang buat, biar darahnya banyak.. Ibu bilang aku harus jadi seperti Ibu, agar Ayah melihatku.. " Brandon tersenyum.

Pedang penuh darah ditangan Astevia jatuh, dia jatuh terduduk dengan tangan menutup wajahnya.

Dia terlalu tidak peduli kah? Sampai dia tidak tau anaknya terbentuk menjadi pribadi yang seperti ini?

"Ayah?" Brandon mendekat, dia memegang tangan Ayahnya, lalu menoleh ke samping, menatap pedang penuh darah yang Ayahnya jatuhkan.

Brandon meraih pedang tersebut, mengangkat dengan sepenuh tenaga ke hadapan sang Ayah.

Anak berumur sekitar enam tahun itu menepuk pedang Ayahnya. "Ini Ayah. Kalau pakai pedang mungkin tidak akan sakit seperti pakai itu.. " Brandon melirik pisau pemberian Ibunya. "Tadi Ibu bilang aku harus mati supaya Ayah melihatku.. "

Astevia menatap Brandon kaget. "Apa?"

Brandon mengangguk. "Tadi Ibu berikan pilihan, mau aku atau Ibu yang melakukannya. Ibu biasanya memotong dengan pelan-pelan, jadi sakit sekali. Makanya aku pilih lakukan sendiri, tapi Ayah datang dan Ibu jatuh.. " Brandon melirik sang Ibu. "Tapi.. Aku harus ikut Ibu. Ibu bilang aku harus patuh kalau tidak aku akan dipukul."

Tangan Astevia gemetar, seburuk itukah perannya sebagai Ayah?

"Ibu Ratu sudah pergi, aku tidak bisa ikut siapa-siapa lagi. Aku harus ikut Ibu kalau begitu." Brandon menatap pedang dengan bekas darah dimana-mana bahkan ada yang masih basah. "Kalau mau ikut Ayah aku harus mati dulu.."

Brandon menatap Ayahnya.

"Mati itu bagaimana Ayah?"

Di titik itu Asteria terdiam. Semua syaraf yang ada di tubuhnya seperti kaku, lidahnya kelu mendengar pertanyaan Putra Bungsunya.

Sebuah usapan pelan menyapa pipi Astevia, itu berasal dari anak kecil berambut silver dengan luka ditangannya yang masih tampak berdarah. "Ibu Ratu bilang ini namanya menangis.. Ayah sedih?"

Menjadi Pangeran paling muda dengan segala tekanan yang ada, Brandon tumbuh menjadi sosok yang mati rasa. Dia ditekan kuat walau umurnya masih begitu muda, dia harus bersaing dengan yang lain.

Bahkan menangis ataupun marah tidak pernah ia rasakan. Semua sudah beku.

Astevia meraih tangan Brandon, memberikan sihirnya agar luka ditangan anak kecil itu sembuh. "Kau tidak perlu ikut kata Ibumu lagi."

"Tapi nanti Ibu akan memotong tanganku lagi." Brandon menatap Ayahnya. "Aku tidak bisa ikut Ayah.. "

Astevia memeluk anak berumur enam tahun itu dengan erat. Saat dia sampai pada selir-selirnya yang lain, anak-anak itu semuanya dijadikan tameng oleh Ibu mereka. Tapi saat di suruh memilih mereka memilih untuk bersama Astevia, melepaskan Ibu mereka yang bahkan tidak pernah memberikan yang seharusnya.

Tapi, Brandon masih terlalu kecil. Bahkan dunia ini terlalu berat untuk anak ini.

"Ayah?"

Astevia memegang kedua pipi Brandon. "Mulai sekarang, lakukan apa yang kau mau. Jangan pikirkan Ibumu lagi. Lakukan apapun, menangis atau marah, lakukan semua itu."

Brandon menggeleng. "Ibu bilang tidak boleh menangis.."

"Ibumu sudah tidak ada. Dengarkan saja Aku, kau juga tidak perlu melakukan apapun. Hanya lakukan apa yang kau mau." Astevia menatap mata cerah itu. "Mengerti?"

Brandon menatap mata ungu itu dengan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. ".. Boleh.. Menangis?"

Astevia mengangguk. "Menangis yang kuat. Keluarkan semuanya."

Hari itu, Istana penuh dengan lautan darah. Semua berhenti dengan tangisan kuat dari Pangeran Bungsu mereka yang memeluk Ayahnya dengan air mata yang turun ditemani hujan kala itu.

. . .

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now