25. Patah

23.9K 3.9K 69
                                    

Menatap ke kanan dan kiri, Anstia mengecutkan bibirnya kesal. Tampaknya rencana yang ia lakukan semalam tidak berdampak apa-apa. Keduanya masih seperti biasa, bahkan Putri Janesita tampak menjaga jarak, saat Pangeran Laurent mengajaknya bicara Putri itu menanggapi dengan senyuman. Dia harus melakukan sesuatu, dia tidak bisa berdiam diri seperti ini. Waktunya tidak banyak, dia harus melakukan sesuatu.

Tapi, Anstia menghela nafas, sepertinya tidak ada harapan untuk keduanya. Bahkan sekarang Putri Janesita lah yang tampak semakin menjauh. Ini berbahaya.

"Kakak ipar, ayo kita jalan-jalan." Anstia yang menemukan Putri Janesita di taman belakang mengajak Putri itu untuk keluar, untuk menghibur, Putri Janesita agak terlihat murung.

"Maafkan saya Putri, saya ada janji dengan Pangeran Laurent." Putri Janesita tersenyum. "Aku ingin memberitahu sesuatu pada anda."

Anstia mengangkat sebelah alisnya, taman belakang yang sepi tanpa penjagaan, hanya angin yang menemani. Mendadak perasan Anstia tidak enak, bahkan sebelum Putri Janesita berbicara dia sudah dapat membayangkan apa yang akan dikatakan oleh Putri Janesita. Mimpi buruk.

"Saya.. Akan membatalkan perjodohan saya dan Pangeran Hilberth."

Anstia menatap Putri Janesita. "Kenapa?" Kaget sekaligus tidak percaya. "Bukanya Putri sangat mencintai Kakak?"

Janesita tersenyum. "Cinta yang tidak berbalas selama sepuluh tahun untuk apa di pertahankan? Sekuat apapun saya mencoba, tetap saja hati Pangeran bukan untuk saya. Cinta tidak dapat di paksa, saya tidak mau terus terluka. Mungkin saya memang bukan untuk Pangeran, saya hanya ingin Pangeran bahagia." Janesita meraih tangan Anstia. "Saya hanya ingin di cintai, tapi saya bukan cinta untuk Pangeran Hilberth. Saya hanya berharap, Putri tidak membenci saya. Saya senang bisa mendapat teman seperti Anda Pintu."

"Tapi, aku mau Putri jadi Kakak iparku." Anstia menggeleng.

Janesita tersenyum, dia menatap Anstia sendu. "Maaf, Putri. Saya tidak sanggup, saya lelah terus mengejar, terus berjuang padahal Pangeran Hilberth terus menolak saya. Saya tidak mau di sebut murahan."

Anstia menatap Janesita yang tersenyum kaget. "Kakak yang bilang seperti itu ke Putri?"

Janesita mengusap rambut Anstia, mengabaikan pertanyaan yang Anstia berikan. "Aku ingin bahagia Putri. Bahkan Pangeran sekalipun tidak pernah tersenyum pada saya. Mungkin saya memang bukan yang terbaik."

Anstia menggeleng. "Padahal, aku sangat menyukai Putri."

"Kita bisa tetap berteman."

Walau dengan berat, Anstia mengangguk dia memeluk Janesita. Dia terlalu membuat kisah yang kejam.

Hilberth menatap pemandangan kedua Putri itu dengan diam dari balkon kamarnya.

***

Janesita melambaikan tangannya kearah Putri Anstia yang kembali ke istana dengan menggunakan portal, karena terakhir kali menggunakan kereta gadis itu berakhir harus di buat tertidur agar tidak mabuk perjalanan.

Berbalik, Janesita berjalan melewati Pangeran Hilberth yang berdiri di sampingnya. Seakan tidak melihat Pangeran Mahkota Kerajaan Ambertia yang berdiri dengan mata menatap sang Putri.

"Putri Janesita."

Janesita menghentikan langkahnya, dia menoleh, sedikit membungkuk. "Ada apa Pangeran?"

Hilberth menatap Janesita yang menatapnya dengan datar. "Temani aku mencari hadiah untuk Raja."

"Aku harus bertemu dengan Pangeran Laurent." Janesita menunduk, enggan menatap mata itu.

"Kau menolak permintaanku?"

Putri Janesita mengangkat kepala, tersenyum pada Pangeran Mahkota yang menatapnya tajam. "Saya hanya tidak mau anda di cap jelek karena berjalan dengan Putri murahan. Saya permisi." Janesita melanjutkan langkahnya. Hilberth menatap punggung itu, sepertinya ucapannya agak kelewatan. Tapi sejak kapan dia peduli?

Hilberth menghela nafas, bukan keinginannya untuk jatuh cinta pada Kakak Putri Janesita. Bahkan sampai sekarang masih belum bisa merelakan Putri Diania untuk orang lain. 

Matanya tidak sengaja menangkap pemandangan Putri Janesita yang bergandengan tangan bersama Pangeran Laurent..

Membuang muka, Hilberth membuka portal. Kemudian, menghilang dari sana.

***

"Putri Janesita itu baik sekali, tapi kenapa Kakak tidak mau? Aku bingung." Anstia memakan kue yang di hidangkan di atas meja. Dia sedang berada di ruangan Raja. Menceritakan apa yang terjadi beberapa hari belakangan. "Sepertinya Putri akan membatalkan perjodohan."

Raja Astevia mengangguk. "Kita tidak bisa memaksa." Astevia melirik sang Putri yang makan dengan lahap, matanya kembali menatap kertas yang sedang ia baca. "Mungkin, Pangeran kelima yang akan mengantarkanmu ke kemah."

"Aku kira Ayah yang mengantarkan aku." Astevia melirik. "Siapa tau, tapi tak apa." Anstia kembali sibuk memakan makanannya.

Astevia melirik, dia menatap datar Anstia yang memakan kue terakhirnya. Gadis itu berjalan ke arah Raja Astevia yang diam.

"Ayah, aku ingin bertanya." Anstia menatap Sang Ayah yang mengangguk pelan. "Apa Ayah benar membantai seluruh keluarga Kerajaan?"

Raja Astevia meremas kertas yang ia pegang, matanya berubah dingin. Membuat Anstia kaget, bahkan mundur beberapa langkah.

"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggung." Akasia menunduk, dia menatap sepatu yang ia kenakan. Tampaknya dia harus tetap berhati-hati pada Raja Astevia. Sekalipun sang Raja sudah begitu baik padanya.

Astevia mengusap wajahnya, dia menatap Anstia yang menunduk takut. "Kemari."

Anstia mendekat dengan ragu, sampai dia berdiri di samping Raja. Raja memeluknya, membiarkan Putrinya duduk di pangkuannya seperi saat masih kecil.

Raja Astevia menyembunyikan wajahnya di punggung Anstia, dengan keadaan duduk menghadap samping Anstia menegang, kaget dengan apa yang Sang Ayah lakukan.

"Aku memang melakukannya." Tubuh Anstia menegang, Astevia dapat merasakan itu. Bahkan kaki gadis itu tiba-tiba gemetar. "Tapi, aku melakukan semua itu karena mereka berkhianat, mereka semua ingin merebut takhta. Para Pangeran yang tersisa, adalah orang-orang yang terbuang. Mereka di benci oleh Ibu mereka, kecuali Pangeran kedua. Mereka bahkan hampir mati hanya untuk menunjukkan jika mereka tidak lemah, sebagai apresiasi aku memberikan namaku pada mereka. Agar tidak ada yang menganggap remeh mereka lagi."

Jadi begitu, sang Raja tidak sekejam itu. Mungkin kejam, namun ada alasan di dalamnya.

"Apa Ayah akan membunuhku?" Astevia mengangkat kepalanya. "Aku membunuh orang yang Ayah cintai. Bahkan Kakaku sendiri membenciku." Anstia menunduk, meremas kedua tangannya.

"Aku tidak akan melakukannya." Anstia menoleh, menatap mata yang begitu mirip dengannya. "Aku sudah bilang jika aku sampai melakukannya, aku akan turun dari takthaku."

Anstia tersenyum, dia memeluk Raja Astevia erat. "Tapi, jika aku di suruh memilih, mati di tangan orang lain atau di tangan orang yang aku cintai. Aku akan memilih opsi kedua, aku akan rela mati, jika itu di tangan Ayah."

Astevia tidak tau, tapi perkataan itu sedikit mencubitnya. "Aku tidak akan melakukan itu."

"Aku tau. Aku hanya cemas." Astevia membalas pelukan Anstia. "Ayah, sangat baik padaku." Anstia mengeratkan pelukannya.

"Aku takut." Astevia mengusap punggung Anstia yang bergetar, dia tau jika Putri bungsunya menangis, dia dapat merasakan bahunya yang basah. "Aku takut, Ayah."

Astevia memeluk tubuh Putri sematawayangnya erat, dia tidak suka ada yang menyakiti Putrinya. Dia tidak suka melihat Anstia menangis.

"Aku takut."

. . .

Drama dulu, sebelum nantinya..

TAWS (1) - AnstiaKde žijí příběhy. Začni objevovat