22. Putri Janesita

27.1K 4.2K 118
                                    

"Aku sudah bilang untuk menjauhi Anstia, kau tidak lupa, bukan?"

Putri Janesita menatap Pangeran Hilberth, tatapan dingin yang di layangkan oleh Pangeran Mahkota Ambertia itu membuat Janesita ingin menatap ke arah lain. Tapi tatapan itu seakan memaksanya untuk tetap melihat ke mata itu.

"Jawab." Pangeran Hilberth menghimpitnya di pohon, mengukungnya diantara kedua tangan sang Pangeran Mahkota.

"Aku ingat." Janesita menunduk, tidak sanggup menatap kebencian di mata sang Pangeran. "Aku hanya ingin berteman dengan Putri." Janesita meremas kedua tangannya, dia tidak berbohong. Dia memang ingin berteman dengan Putri Anstia.

Hilberth mendengkus. "Jangan buat Anstia sebagai alat agar kau bisa mendekatiku."

Janesita mengangkat kepala, menatap mata Pangeran Hilberth. "Aku tidak menggunakan Putri sebagai alat. Dia temanku."

Hilberth menjauh dia tersenyum sinis. "Kau licik. Aku tau kau hanya ingin takhta, karena itu kau selalu mengejarku." Hilberth menjauh, menurunkan tangannya yang mengukung Putri Janesita, tatapan matanya masih mengarah pada Putri itu.

Janesita menatap Pangeran Hilberth agak kecewa. "Aku tidak butuh takhta Pangeran. Aku hanya perlu seseorang yang mencintaiku, untuk apa takhta tinggi jika tidak memiliki kasih sayang?"

Pangeran Hilberth diam, dia menatap Putri Janesita yang menyeka air mata.

"Aku hanya ingin membantu. Aku tidak akan menggangu anda Pangeran, aku ikut untuk Putri Anstia, bukan untuk anda. Aku tau Pangeran sangat membenciku, bahkan aku tau Pangeran tidak mau menerima perjodohan ini." Janesita menarik nafas, rasanya dadanya terimpit. "Setelah pulang nanti, aku akan mengatakan pada Ayah dan Ibuku kalau aku menolak perjodohan ini. Aku sendiri yang akan bilang pada Raja Astevia. Pangeran tidak perlu khawatir."

Putri Janesita memberikan salamnya sebelum melanjutkan langkah menuju Mansion yang sudah terlihat di ujung sana.

Pangeran Hilberth menatap punggung itu, sesekali tangan gadis itu terlihat bergerak seperti menghapus air mata.

***

Makan malam kali ini hanya para Pangeran dan Sang Raja yang ada di meja makan. Putri Anstia masih mode merajuk dan tidak mau keluar dari kamarnya.

Hilberth menghela nafas, sebenarnya dia memikirkan ucapan Janesita. Dia sudah mengenal Janesita sejak sepuluh tahun lalu, dan Putri itu selalu mengejarnya. Saat masih berusia belasan, Putri Janesita sering menjunjungi Kerajaan. Dia ingat Putri Janesita pernah memberikan syal berwarna biru tua padanya, warna senada dengan rambut sang Putri.

"Lebih baik kau minta maaf, Pangeran. Besok kalian akan berangkat." Jalvier menatap Pangeran Mahkota yang menghela nafas, keduanya baru selesai bertemu Raja untuk membicarakan apa yang harus diselesaikan saat tiba di utara Kerajaan. "Kau tidak perlu sekeras itu."

Hilberth menghela nafas lagi, beban pikiran dan di tambah lagi Anstia yang dalam mode merajuk membuatnya semakin pusing. Dia ingin meminta maaf tapi dia rasa perlu membiarkan Anstia.

"Biarkan saja."

Jalvier tersenyum. "Sebesar itu rasa bencimu pada Putri Janesita?"

Hilberth melirik, namun diam tidak membalas ucapan adiknya itu.

"Dia menolak banyak lamaran hanya untuk menunggumu, dia sangat bahagia saat lamaranmu akhirnya sampai padanya."

"Ayah yang mengajukan itu, bukan aku." Pangeran Mahkota mengacak rambutnya pelan, tidak peduli jika akan di lihat orang lain dalam keadaan tidak rapi.

Jalvier membungkuk, memberikan salam pada Hilberth yang berbelok. "Mungkin dia akan membatalkan lamaran ini."

Langkah Hilberth terhenti, dia masih pada posisinya namun seperti menunggu ucapan Jalvier selanjutnya.

"Ingat, Pangeran aneh itu masih menginginkan Putri Janesita." Jalvier berjalan, meninggalkan Hilberth yang mengepalkan kedua tangannya.

***

Masih dalam mode yang sama, Anstia berjalan di samping Raja dengan tenang. Wajah datar dan aura dingin yang di keluarkan sang Raja membuat beberapa pengawal yang akan menjaga Anstia, Hilberth, Putri Janesita dan Pangeran Sylvester yang di tunjuk juga oleh sang Raja terlihat tegang. Mereka akan menjaga orang penting, Pangeran Mahkota dan Si Putri Bungsu kesayangan Raja di tambah lagi Putri Kerajaan seberang yang akan menjadi istri Pangeran Mahkota mereka, apalagi si penasehat Kerajaan yang sangat di percaya Raja, dan merupakan Pangeran Keempat. Salah sedikit kepala jadi taruhan.

Anstia berdiri di samping sang Raja, dia masih kesal dengan Pangeran Mahkota, Sylvester hanya terkekeh, membuat Anstia melirik Kakaknya itu tapi tidak mengatakan apa-apa.

"Jangan sampai ada diantara mereka yang terluka, kepala kalian akan jadi pajangan jika itu terjadi." Bukan tanpa sebab Astevia di sebut Raja dingin tidak berperasaan yang sadis, Raja memang sangat menjaga anggota Kerajaan karena selain sebagai pertahanan terakhir, para anggota Kerajaan sangat penting. Terutama si calon Raja masa depan.

Wajah tegang, dengan keringat dingin langsung tampak di wajah para prajurit yang di tugaskan menjaga para orang penting Kerajaan. Bahkan ada yang berwajah pucat, ketakutan karena ucapan Raja adalah mutlak dan Raja selalu menepati ucapannya.

Putri Janesita melirik Pangeran Hilberth yang menatap datar dengan wajah dingin, tampaknya Pangeran memang tidak menyukai kehadirannya di sini. Namun, dia pergi untuk membantu Putri Anstia bukan Pangeran Hilberth. Setelah pulang nanti mungkin dia akan langsung menyampaikan pada Raja Astevia jika dia ingin memutuskan perjodohan antara dia dan Pangeran Hilberth. Dia hanya ingin yang terbaik untuk orang yang ia cintai selama satu dekade itu. Meski harus membuatnya terluka.

Anstia memeluk Raja Astevia, mungkin Raja Astevia memang dingin, namun dia selalu menyayangi para Pangeran dan juga dirinya dengan cara yang berbeda-beda.

Raja Astevia mengusap rambut Anstia, lalu menatap mata yang persis dengan miliknya. "Berhati-hatilah."

Anstia tersenyum. "Iya, Ayah."

Setelah berpamitan--kecuali pada pangeran kedua yang menatap Anstia seperti menguliti gadis itu--Pangeran Mahkota dan rombongan berangkat menuju bagian utara Kerajaan.

"Kenapa tidak pakai portal saja?" Anstia melipat memegang perutnya, entah karena apa perjalanan atau karena memang di kehidupannya yang dulu dia juga sering mabuk perjalanan, kepalanya terasa pusing dan perutnya tidak enak.

"Portal di pakai dalam keadaan genting, lagipula kuda-kuda sihir akan membawa kita sampai di kota utara hanya dalam waktu satu jam." Pangeran Hilberth mengangkat kepalanya, dia menghela nafas pelan melihat keadaan adiknya yang tampak sekali sedang mabuk. Bahkan lupa jika dia sedang merajuk pada Pangeran Mahkota.

Hilberth pindah, dia duduk di damping Anstia. "Tidurlah." Dengan sedikit sihir, Hilberth membuat Anstia tertidur. Dengan bantal yang memang di siapkan, Hilberth membaringkan Anstia. Melepaskan jubah yang ia kenakan, Hilberth kembali ke tempat duduknya semula, di samping Putri Janesita.

"Putri pasti sangat senang memiliki Kakak seperti Anda, Pangeran." Hilberth melirik Putri Janesita yang tersenyum kecil. "Anda pasti akan jadi Ayah dan suami yang baik nantinya. Secepatnya saya akan berbicara dengan Raja Astevia, agar anda dapat menemukan perempuan yang tepat. Asal Anda bahagia, saya akan bahagia Pangeran."

Hilberth diam, dia kembali membaca bukunya. Mengabaikan ucapan Putri Janesita. Walaupun sebenarnya hatinya sedikit tidak terima dengan ucapan Putri itu.

. . .

Ini cerita seru nggak sih?

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now