54. Pengakuan

16.9K 3.4K 272
                                    

Hanya diam, Anstia memakan sarapannya dengan tenang. Suasana meja makan pagi itu tampak hening.

Raja Astevia tampak seperti tidak napsu makan, bahkan beberapa kali seperti terdiam.

Rusta yang melanjutkan semua pertanyaan, dan dari pertanyaan-pertanyaan itu semua yang terjadi semakin jelas.

Satu hal yang Anstia lupa tanyakan, yaitu bagaimana bisa semua orang percaya jika Kasilva palsu.

Dengan sihir, itu kata Rusta. Sejak awal Kasilva memanipulasi dengan sihir pemikat tapi sesungguhnya Kasilva tidak begitu bisa bertahan di Istana. Oleh karena itu dia mengambil daya hidup Raja. Itulah alasan mengapa Raja selalu terlihat lemas dan seperti mayat hidup.

Anstia ingin sekali mendekat dan memeluk Ayahnya, tapi Ayahnya bahkan tidak pernah mau melihatnya sekarang.

Sarapan itu selesai dengan Kasilva yang mengikuti Anstia menuju danau, cuaca mulai terik namun air danau tetap dingin dan tenang.

"Danau ini selalu saja indah." Kasilva tersenyum, gadis itu memainkan air danau sedangkan Anstia hanya diam menatap danau yang berkilau karena cahaya matahari. "Tuan Putri kenapa? Sejak pagi terus diam."

Anstia tersenyum. "Tidak. Aku hanya merasa rindu saja."

Kasilva yang berjongkok di tepi danau berdiri mendekat pada Anstia yang berdiri tidak jauh. "Rindu? Pada siapa?"

"Ayah."

Kasilva tampak terdiam. "Yang Mulia tampak seperti sedang sakit akhir-akhir ini, bahkan Pangeran Hilberth yang mengambil alih beberapa pekerjaan Yang Mulia."

Pangeran Mahkota, Hilberth, akhir-akhir ini memang jarang terlihat. Raja yang tampak tidak sehat membuat Pangeran itu akhirnya mengambil alih semua pekerjaan Raja, tentu di bantu oleh Pangeran-pangeran lain.

Jika Anstia masih Anstia yang tidak tau apa-apa mungkin dia akan sedikit percaya atau mengiyakan kata-kata Kasilva dengan mudah. Tapi dia tau semua, kata-kata Kasilva lebih mirip sebuah suara yang berulang kali dia dengar sampai rasanya ia muak.

Tersenyum, Anstia mengangguk. Dia akan mengikuti alur saja. "Mungkin aku akan mengunjungi Ayah nanti."

Kasilva mengangguk. "Aku akan menemani, Tuan Putri."

"Maaf, tapi aku ingin bicara berdua dengan Ayah." Anstia menunduk. Dia sedikit merindukan Ayahnya yang dulu meskipun dia mungkin tidak kelihatan begitu dekat dengan Ayahnya apalagi setelah kejadian itu tapi dia masih ingin Ayahnya peduli padanya. Dulu walaupun diantara mereka seperti ada jarak, Ayahnya masih peduli padanya. Kadang memberikan perhiasan, pakaian atau buku-buku yang sedang Anstia sukai. Tapi setelah kedatangan Kasilva dia diabaiakan dan seakan menjadi orang asing. Tempatnya di rebut.

"Baiklah. Aku mengerti." Kasilva tersenyum. "Aku akan selalu mendukung Tuan Putri."

Anstia mengangguk. "Terimakasih."

Ramuan itu benar-benar yang terbaik, bahkan Kasilva tidak mengingat apapun saat gadis itu bangun. Seakan benar-benar tidur.

Suatu keuntungan juga. Anstia tidak perlu repot-repot menambah musuh.

***

Kamar itu masih sama seperti terakhir dia datangi, bahkan perabotan dan letak barang-barang yang ada masih saja sama.

Entah sudah berapa lama dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini.

Rusta mengikuti Anstia masuk, rubah kecil itu berhenti di samping Anstia yang berhenti melangkah saat matanya melihat sosok Ayahnya yang sudah lama tidak dia lihat sedekat ini dan hanya berdua. Tidak seperti biasanya yang selalu ada orang lain.

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now