58. Semua Yang Nyata

13.5K 2.5K 121
                                    

Mata ungu itu menatap sendu gelas mengepul di hadapannya, sihir masih tetap tidak dapat di gunakan dan artinya semua harus dilakukan secara manual.

Banyak prajurit yang gugur, banyak juga yang terluka parah sampai harus beristirahat dan kemungkinan besar tidak bisa turun ke garis depan.

Semalam, ada sebuah surat yang datang ke tenda Anstia, itu berasal dari pemimpin para penyihir hitam, mereka ingin Anstia untuk menyerahkan diri dengan suka rela. Jika tidak maka mereka akan menggunakan sihir hitam untuk menghidupkan prajurit-prajurit yang telah gugur untuk menyerang.

Hampir setengah prajurit gugur, maka jika itu terjadi mungkin mereka akan kalah. Bantuan mungkin sedang dalam persiapan, tapi jika terlambat maka konsekuensinya sangat besar.

Anstia menghela nafas, rambut emas dengan sedikit warna perak itu diikat tinggi sedikit bergerak saat pemiliknya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Rusta muncul, membawa semangkok sup bersama roti. "Sarapan."

Mengangguk pelan, Anstia masih pada posisnya. "Rusta."

"Apa?" Rubah itu meraih beberapa kertas yang berserakan di atas meja Anstia. "Gerkan akan tiba sebentar lagi. Katanya Kakakmu ikut."

"Kakakku ada banyak." Anstia menghela nafas.

"Yang menyebalkan itu." Rusta berdecak, rubah itu merapikan kertas-kertas yang ada. "Apa yang mau kau katakan?"

Anstia menatap Rusta. "Kalian penjaga di dunia roh, kan?"

Menaikkan sebelah alisnya, Rusta mengangguk pelan. "Kenapa?"

"Apa perjanjian itu tidak bisa di lepas?"

Tangan Rusta yang tadinya sibuk merapikan kertas berhenti, dia menatap Anstia yang membuang muka ke arah lain. "Kau bodoh? Sudah dikatakan kalau itu tidak bisa di lepas. Bahkan kalau kau mati kami juga akan mati."

"Aku tau," Anstia menghela nafas. "Maksudku kalian spesial, kalian adalah penjaga di dunia roh. Bagaimana kalau kalian tidak ada nantinya? Siapa yang akan menjadi dunia itu?"

Rusta menghela nafas, dia menarik kursi dan duduk dihadapan Anstia setelah semua kertas telah ia susun. "Dengar ini manusia lemah." Anstia memberikan tatapan datar, tapi tampaknya Rusta tidak peduli. "Kalau kami mati, kami tidak benar-benar mati. Kami tidak bisa benar-benar mati. Kenapa? Karena kami penjaga di dunia roh, artinya kalau kami mati kami akan kembali ke pengaturan awal. Kami akan kembali hidup disana. Jadi kalau misalnya kau mati, kami akan mati juga, tapi jiwa kami akan kembali dan membentuk diri kami lagi."

Anstia mengangguk, tersenyum kecil. "Kalau begini aku jadi lega."

Rusta menatap tajam Anstia, gadis kecil ini sejak perang dideklarasikan semakin aneh saja. "Kau tidak akan mati, jadi tenang saja." Rusta menopang dagunya dengan satu tangan di atas meja. "Kenapa kau selalu khawatir tentang ini?"

"Aku akan merasa bersalah jika aku mati dan kalian juga menghilang, padahal kalian adalah orang penting tapi kalian malah menghilang karena aku. Rasanya seperti aku merebut permen dari anak kecil yang benar-benar menyukai permen." Anstia terkekeh. "Aku jadi lega."

Rusta mengerutkan kening, memberikan tatapan penuh tanya. "Apapun hal gila di kepalamu jangan lakukan. Kau tidak akan mati, sekalipun kita kalah disini."

"Kalian akan melindungiku, kan?" Anstia tersenyum.

Rusta hanya diam, dia hanya merasa Anstia agak aneh. Tapi dia tidak bisa menyimpulkan apapun dari ekspresi maupun kata-kata Anstia.

***

Pangeran kedua, Phil dan Gerkan si naga semesta tiba saat matahari sudah tinggi.

Gerkan merubah dirinya menjadi manusia setelah Phil turun. Mata hitam kelam itu mencari sosok Masternya.

"Dia disana." Seakan tau apa yang naga itu cari, Phil menunjuk Anstia yang sedang berjongkok sambil menulis sesuatu di atas tanah.

Gerkan melirik Phil sebentar sebelum berjalan mendekat pada Anstia yang tersenyum saat melihat naga itu.

"Bagaimana perjalanannya?" Anstia tersenyum. Gerkan mengangguk pelan. "Rusta sedang pergi, aku tidak tau dia kemana." Anstia menulis lagi di atas tanah dengan ranting yang ia pegang.

"Brandon sudah lebih baik." Anstia menoleh, menatap Kakak keduanya, Pangeran Phil. Mata Phil menatap tulisan di atas tanah, dia belum pernah melihat tulisan seperti itu. Bahasa yang belum pernah ia ketahui. "Dimana Sylvester?"

Anstia menunjuk salah satu tenda. "Kak Sylvester sepertinya tidak sedang dalam suasana hati yang baik."

Phil diam, hanya menatap begitu saja. Berbalik dan berjalan menuju tenda yang Anstia tunjuk.

"Kata Rusta, kalian tidak bisa mati." Gerkan menatap Anstia. "Jiwa kalian akan kembali lagi ke gua itu."

Gerkan mengangguk pelan. "Tapi ingatan kami tidak."

Anstia menatap Gerkan, agak kaget dengan ucapan naga itu. Pasalnya Rusta tidak mengatakan apa-apa tentang ini.

"Jadi kaliana akan lupa kejadian di kehidupan lama kalian?" Anstia menulis sesuatu lagi di atas tanah.

Gerkan mengangguk. "Ya."

Anstia menggerakkan ranting ditangannya dengan acak, membentuk garis acak di atas tanah. "Begitu.. "

"Kenapa Putri ingin tau?"

"Anstia saja." Anstia menghela nafas, menatap Gerkan yang hanya berwajah datar seperti biasa. "Aku hanya penasaran. Pengetahuan tentang siluman sangat jarang ada, aku hanya penasaran."

Gerkan menatap Anstia. Belakangan ini Putri satu ini mulai bertingkah aneh, tapi Gerkan tidak tau apa alasannya. "Semua baik-baik saja."

Anstia tersenyum, dia mengangguk pelan. "Ah, aku belum pernah cerita ini." Anstia menjatuhkan dirinya di atas tanah, tidak peduli pada pakaiannya yang akan kotor nantinya. Kakinya sudah kesemutan. "Aku dulu punya teman."

Gerkan diam, hanya memperhatikannya.

"Dia penyihir. Aku pernah terkena masalah karena sihir hitam, dia yang menyembuhkanku. Kau pasti pernah lihat luka di kakiku, itu karena sihir hitam." Anstia tampak menerawang. "Aku tidak tau dia kemana, aku yakin dia masih hidup. Terkadang aku merindukannya, walau mulutnya sebelas dua belas dengan Rusta." Anstia terkekeh pelan.

Gerkan mengangguk.

"Walau dia selalu mengatakan hal jahat, dia selalu ada di sisiku. Sampai dia harus pergi dan sampai sekarang tidak ada kabar." Anstia menatap tulisan yang ia buat di atas tanah. "Namanya Yasa." Anstia tersenyum. Dia menuliskan nama Yasa di samping tulisan-tulisan yang hanya ia yang bisa mengeri itu.

"Yasa?" Gerkan menaikkan sebelah alisnya. "Unik."

Anstia terkekeh. "Kalau dia bertemu Rusta aku yakin mereka berdua akan mengejekku dengan sepenuh hati." Anstia menghela nafas. "Aku merindukannya, kalau boleh jujur. Aku tidak tau, tapi rasanya sudah lama sekali. Dia cerewet tapi dia baik. Aku ingin bertemu dengan Yasa, sekali saja."

Anstia menggigit bibir bawahnya. "Sekali saja. Aku mau melihatnya lagi, dia pasti tambah tinggi." Anstia terkekeh.

Gerkan menepuk punggung tangan Anstia. "Dia pasti akan datang."

Anstia terkekeh. "Ya. Dia pasti akan datang." Anstia berdiri, dia menepuk pakaiannya yang agak kotor. "Kalau aku bertemu lagi dengannya akan aku pukul dia, siapa suruh tidak pernah memberikan kabar."

Gerkan mengangguk, dia hanya mengikuti Anstia yang berjalan. Mata Gerkan melirik tulisan-tulisan yang dibuat Anstia. Matanya agak lama menatap nama tersebut sebelum berjalan mengikuti Anstia.

. . .

Selamat menunggu lagi 😘

Aku lagi HIATUS jadi jangan tanya kapan update, kalau ada waktu aku update. Okayy, selamat menunggu 👋

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now