29. Hati yang Beku

24.4K 3.7K 41
                                    

Sang Raja menjadi orang pertama yang memeluknya setelah keluar dari cermin emas itu. Makan malam dengan banyak makanan kesukaan Anstia menjadi penyambutan Putri bungsu Raja yang telah kembali dari kemah.

"Padahal mereka cocok."

Raja Astevia hanya diam, dia masih membaca beberapa berkas di tangannya sedangkan Anstia duduk di sofa. Ruang kerja Raja hanya diisi oleh keduanya, Sang Raja sibuk membaca laporan para menteri sedangkan Anstia sibuk memakan camilan manisnya serta memperhatikan benda berkilau yang Raja berikan padanya.

"Ayah." Astevia melirik. "Aku punya teman baru!" Anstia tersenyum senang, setelah Putri Janesita akhirnya dia memiliki seorang teman lagi yang seumuran dengannya.

Astevia tersenyum tipis, senang melihat Anstia yang terlihat gembira setelah pulang dari kemah. Ide yang bagus memasukkan nama Anstia dalam daftar. Walau dia dengar beberapa hal baru yang gadis itu lakukan, salah satunya membuat Putri Rose menangis. Tapi Astevia akui jika Anstia memiliki keberanian. Lagipula tidak ada komplain dari Putri Rose, jadi Astevia rasa semua baik-baik saja. Pasukannya siap selalu jika diperlukan, jadi bukan hal yang sulit.

"Aku ingin mengadakan acara tidur."

"Acara tidur?"

Anstia mengangguk semangat. "Tapi ini khusus perempuan, Ayah tidak bisa ikut." Astevia mendengkus membuat Anstia tertawa. "Aku ingin mengundang Putri Janesita dan Bianiana. Tapi aku tidak yakin Putri Janesita akan menerima setelah dia menolak lamaran Kak Hilberth."

Penolakan lamaran Putri Janesita tidak membuat Astevia kaget, dia tau jika Putri Janesita pasti akan memutuskan lamaran itu. Hilberth terlalu cuek bahkan terkesan tidak peduli. Bahkan setelah kembali dari tugas mereka di bagian utara Kerajaan.

"Mungkin kalau kau yang mengundang dia akan mau."

Anstia tersenyum. "Semoga saja." Gadis berambut emas dan perak itu berdiri, dia berjalan menuju sang Ayah dan mengecup pipi sang Raja. "Selamat malam, Ayah." Anstia berjalan keluar dari ruangan Raja.

Astevia kembali menatap kertas di tangannya. Sepertinya mengundang Putri Janesita tidak akan jadi masalah.

***

Matahari agak terik, membuat Anstia memilih duduk di bawah pohon, di temani kucing berwarna abu-abu bercampur putih yang tertidur dengan tenang di pangkuan Anstia yang sedang membaca buku. Seekor anjing berwarna putih secara keseluruhan tidur melingkar di samping Anstia.

Kucing berwarna abu-abu dengan beberapa bagian berwarna putih tersebut adalah anak dari kucing yang pernah Anstia kejar saat kecil dulu. Kucing milik Pangeran kelima yang sudah mati beberapa tahun lalu. Beberapa anak kucing itu di berikan pada para bangsawan lain, sedangkan Pangeran Brandon mengambil satu, dan Anstia satu. Anjing di sampingnya adalah hasil peranakan anjing milik Pangeran keempat yang diberikan padanya.

Beberapa hari di tinggal para hewan peliharaannya ia titip pada pelayan istana. Kedua hewan peliharaannya juga sering bermain di kamar Pangeran keempat dan kelima.

"Apa yang kau baca?"

Anstia mendongak, ia tersenyum pada Pangeran mahkota yang duduk di samping Anstia dengan Odoo yang langsung menempel pada Pangeran itu, sedangkan si kucing Odii masih setia berada di pangkuan Anstia.

"Buku yang aku beli saat kemah." Anstia menunjukkan bukunnya. "Aku dengar Kakak dan Putri Janesita tidak akan menikah, dia menolak lamaran Kakak."

Hilberth tersenyum. "Aku belum bisa mencintainya."

"Dia baik."

Hilberth mengangguk, beberapa hari bersama Janesita membuat ia tau jika Putri itu bukan hanya pencitraan semata baik di depan rakyat. Putri itu memang baik hati.

"Baik belum tentu jadi Ratu yang baik."

"Kakak bahkan belum mencoba untuk mengenal Putri Janesita."

Hilberth terdiam. Ia memang tidak pernah mencoba membuka hatinya, dia membangun tembok tinggi antara dirinya dan Janesita. Ada batas yang memisahkan, seperti apapun Putri Janesita berjuang tembok itu tetap saja memisahkan mereka berdua. Hilberth hanya belum bisa untuk meruntuhkan dinding itu. Dan Putri Janesita mungkin bukan orang yang akan bisa membuat tembok itu runtuh.

"Orang lain bisa saja ingin di posisi Kakak saat ini."

"Calon Raja?"

Anstia menggeleng. "Bukan." Anstia menatap Pangeran Hilberth. "Menjadi orang yang mendapatkan hati Putri Janesita. Mungkin Kakak merasa tidak beruntung memiliki hati Putri Janesita, tapi siapa yang tau jika mungkin orang di luar sana sangat menginginkan posisi Kakak saat ini." Anstia tersenyum.

Hilberth menunduk. Sejujurnya, sejak kejadian di gudang waktu itu dia mulai tidak bisa mengontrol otaknya agar tidak memikirkan Janesita. Tapi dia belum yakin dengan perasaannya. Tidak ada cinta yang datang semudah itu, semua memiliki proses.

"Penyesalan selalu datang di akhir." Hilberth menatap Anstia. "Kakak bisa saja benar-benar kehilangan Putri Janesita, Pangeran aneh itu bisa saja maju selangkah lebih dekat pada Putri Janesita."

Hilberth hilang kata, dia merasa apa yang Anstia katakan ada benarnya. Dia agak tidak rela jika Putri Janesita bersama orang lain. Apalagi Pangeran aneh yang semakin bertingkah aneh semenjak Putri Janesita membuat jarak saat mereka berada di Utara. Itu agak menyebalkan.

"Aku tidak tau kapan," Hilberth melirik Anstia. "Aku akan mengadakan pesta tidur, aku ingin mengundang Putri Janesita dan temanku."

"Kau sudah memiliki teman?" Hilberth tersenyum, senang adiknya dapat beradaptasi dengan baik.

Anstia mengangguk. "Namanya Bianiana, dia baik."

Hilberth mengerutkan kening. "Bukannya dia Putri yang terbuang? Bahkan Raja dan Ratu tidak menganggapnya ada." Putri Bianiana, dia pernah mendengar nama itu. Putri yang tidak begitu dipedulikan, bahkan oleh anggota keluarganya sendiri.

"Karena itu aku mau berteman dengan dia. Aku tau rasanya diacuhkan seperti itu, dulu Ayah bahkan tidak tau aku hidup. Aku hanya ingin membagi kebahagiaan bersamanya karena dia temanku."

Hilberth mengusap rambut Anstia, tersenyum. Ada rasa bangga dalam hatinya karena Anstia tidak berteman karena harta atau asal-usul.

"Sepertinya dia baik."

Anstia mengangguk. "Kakak." Hilberth menatap Anstia. "Kalau Putri Janesita datang, jangan terlalu dingin. Ajak dia bicara sesuatu yang menyenangkan, aku yakin kalau Kakak akan langsung jatuh cinta jika tau kepribadiannya."

Hilberth mengangguk. "Akan aku coba."

"Kalian terlihat sangat seru." Anstia dan Hilberth menoleh, keduanya berdiri dan memberikan salam pada sang Raja. "Apa yang kau baca?"

Anstia menunjukkan bukunya. "Buku yang aku beli saat kemah."

Astevia mengangguk pelan, dia beralih menatap Pangeran Hilberth. "Pangeran kedua mencarimu, pergilah."

Hilberth mengangguk, memberikan hormatnya sebelum berjalan meninggalkan Anstia dan sang Raja.

"Jadi mengundang Putri Janesita?"

Anstia mengangguk. "Aku memiliki firasat baik untuk Pangeran Hilberth dan Putri Janesita." Anstia tersenyum. "Ada apa Ayah kemari?"

Astevia menatap mata yang begitu mirip dengan miliknya itu. "Hanya ingin melihat-lihat."

"Aku rasa akan seru." Anstia tersenyum. "Aku akan mengundang mereka secepatnya kemari."

Astevia mengangguk pelan. "Kau semakin besar saja."

Anstia menatap sang Raja. "Aku akan terus bertumbuh Ayah."

"Rasanya sangat cepat."

Anstia tersenyum.

. . .

Lama update kan?

Maklum, tugas nggak habis-habis soalnya, satu dikumpul seribu muncul jadi nggak sempat nulis.

Komen tanggapan kalian untuk bab ini

TAWS (1) - AnstiaМесто, где живут истории. Откройте их для себя