Bab 46

542 96 10
                                    


"Nastiti?"

Melihat ketidakpercayaan rekannya, Nawala segera menjelaskan.
"Aku melihatnya di sekitar sungai, berbicara dengan sosok manusia bertelinga lancip dan sepertinya mereka sudah saling mengenal. Menurutku, dia adalah orang yang sama dengan yang pernah diceritakan oleh Nastiti."

"Bhargawala?" Yudha Erlangga menebak.

"Kurasa."

Sejenak, keheningan meliputi dua pemuda tersebut, hingga akhirnya Nawala kembali berujar, "Dengar, aku tahu mungkin ini tidak penting, tapi aku membutuhkan kejelasan atas hal tersebut."

Yudha Erlangga tidak menyahut. Pemuda itu mengerti bahwasanya rekannya itu sedang penasaran. Walaupun rasa penasarannya kerap kali membawa hal yang merepotkan, apalagi ini menyangkut siluman. Tetapi, ia biarkan saja, toh, tidak ada salahnya mengetahui jati diri Nastiti.

Dan hari pun segera berganti, tetapi yang dinanti tidak kunjung datang. Sementara Nastiti semakin gelisah. Beberapa kali sang pengawal mendatanginya dalam wujud gagak. Dia tahu bahwa pengawalnya bisa saja langsung membawanya pergi ketika Nawala dan lainnya lengah, tetapi gadis itu berpegang teguh pada pendiriannya. Ia ingin membuktikan bahwa ia adalah orang yang bisa dipercaya. Dia tidak mungkin menghianati orang-orang dari kedaton tersebut. Dia sudah menganggap mereka adalah teman, kecuali--mungkin--Nawala. Tetapi, ingin sekali dirinya pergi dari sana, mengingat Wendari akan melangsungkan perkawinan beberapa hari lagi. Yang demikian membuatnya gemas.

Nawala mendongak ke atas, lalu celingukan mencari si sumber suara. Seekor burung gagak tengah bertengger di salah satu dahan pohon dan beberapa kali berkoak. Merasa terganggu, Nawala berniat mengusirnya dengan bebatuan kecil. Dicobanya membuat burung serba hitam itu pergi atau setidaknya diam. Namun, si burung gagak memang sedikit 'ndableg'*. Berkali-kali batu-batu lemparan Nawala dihindarinya dengan loncatan kecil ke samping kiri-kanan, sehingga menimbulkan rasa greget di benak Nawala. Merasa diremehkan, Nawala mengambil panahannya dan mulai membidik.

*Ndableg; bandel

Nastiti memekik kecil ketika dilihatnya Nawala tengah mengangkat busurnya kepada sesuatu. Segera ia keluar dari hunian dan menghambur ke arah pemuda itu. Menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan meski itu tidak begitu berguna karena bagaimanapun bidikan Nawala mengarah ke atas, selain itu tubuh mungilnya seolah tidak menciptakan perlindungan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Membidik burung berisik itu."

"Kau sudah gila!"

"Kau yang gila, minggirlah!"

Tetapi Nastiti masih tetap menghalang-halangi dengan melambaikan tangannya ke atas. Nawala berdecak. Diturunkan bidikannya, bukan karena adanya Nastiti, tetapi si burung gagak telah terbang.

"Ada apa denganmu itu? Kau baru saja menyia-nyiakan kesempatan mencicipi daging gagak."

Mendelik netra Nastiti mendengarnya.
"Kau berniat membunuhnya lalu memakannya?"

"Tentu saja. Bukankah kita harus memanfaatkan segala bahan makanan yang ada? Lagi pula burung gagak tadi terlihat sangat besar. Pasti cukup untuk kita nanti."

"Dasar, tidak punya perasaan!"

"Hei, kenapa kau ini? Bukankah hampir setiap hari kau memakan ikan dan kelinci?"

"Itu berbeda. Binatang-binatang itu memang untuk dimakan manusia."

"Burung gagak juga bisa dimakan manusia jika terdesak."

"Tapi itu bukan burung gagak!"

Merasa ada yang salah dengan ucapannya, Nastiti segera memperbaikinya, terlebih melihat raut wajah Nawala yang terheran-heran.

MIRUDA (SELESAI)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora