Bab 102

256 43 19
                                    

.
.

Malam setelah keberangkatan Senapati Dhiwangkara dan rombongannya, Haningan dirundung kegelisahan. Pun sama halnya dengan Hanimpura. Segala gerak-gerik di dalam kedaton utama seperti diawasi. Perbincangan pun seperti dibatasi. Masing-masing takut mengutarakan pendapat. Bahkan, membicarakan benda mati pun dirasa akan membawa celaka. Tekanan yang lebih besar tentu dirasakan para pejabat. Utamanya mereka yang terlibat dalam rencana pemberontakan. Begitu berhati-hati mereka dalam menyusun taktik. Urun pendapat pun disampaikan secara sunyi senyap, berharap dan merasa yakin tidak ada yang tahu bahkan undur-undur sekalipun.

Satu mulut menyampaikan pesan ke mulut lain. Lalu, ketika cahaya senja mulai merambat ke bumi, mereka telah menyiapkan diri. Sesuai amanat Raka Gangsar, menang atau kalah nanti, mereka tetap harus menorehkan sejarah kelam untuk Hanimpura.

Di sisi lain, Batik Madrim sedang merenung di serambi utama. Wajah pangeran gagah itu tenang walau dalam benaknya menyimpan setitik kecemasan. Tatapan damainya pada obor-obor yang dibawa prajurit untuk meronda maupun yang terpancang untuk penerangan, tidak sejalan dengan yang sedang berkelindan di pikiran. Ia mengira-ngira, bagaimanakah perjalanan pasukannya yang mengawal Raka Gangsar? Apakah berhasil sesuai rencana? Atau, malah sebaliknya?

Sang pangeran resah karena belum jua mendapat kabar tentang hal tersebut. Bisa dikatakan, gerakan sang pangeran di Haningan ini adalah sekaligus sebagai pembuktian. Pembuktian kepada sang ayahanda dan Malwapati bahwa dirinya pantas disebut kesatria sejati dan tidak ada yang bisa meremehkan kemampuannya. Walau bukan kedudukan yang sebenarnya ia incar. Ia menginginkan pengakuan bahwa darah sang raja yang mengalir dalam tubuhnya bukan hanya sekadar takdir. Namun, karena ia memang pantas disebut sebagai kesatria pilihan dewa.

Ketika gelisah itu mulai ditenangkan, kehadiran seseorang segera saja membuatnya berpaling. Yang dilihatnya adalah sang mantri kepercayaan baru saja menjura didampingi seorang pemuda yang tidak begitu jauh usia dengan dirinya. Sang mantri mundur, memilih tempat agak berjarak bersama satu pengawal yang sedari tadi menemani sang pangeran.

"Salam yumana, Pangeran," sapa si pemuda yang tak lain adalah Yudha Erlangga.

Batik Madrim membalas. Ia pun menyilakan pemuda itu untuk menemaninya. Dalam beberapa helaan napas, keduanya belum saling bicara. Batik Madrim merasa perlu memberi jeda, sementara Yudha Erlangga enggan mendahului.

"Jadi, bagaimana persiapannya?" tanya sang pangeran.

"Sendika, Pangeran, semuanya tetap bersiaga di tempat." Yudha Erlangga menjawab.

Pemuda itu agak heran kala terdengar tawa tertahan dari lawan bicaranya. Akan tetapi, ia pun tak berani bertanya.

"Kau juga adalah orang yang harus dihormati. Sekalipun dalam jajaran kasta, aku lebih tinggi, tetapi bukan berarti kau harus menunduk dalam kepadaku seperti itu," tutur Batik Madrim.

Tangan yang bertangkup dilerai Yudha Erlangga. Si pemuda pun tak lagi membungkuk demi menyampaikan hormat. Ia melakukan itu bukan untuk bersikap tinggi hati atau menyepelekan sang pangeran, tetapi untuk mematuhi apa yang dirasa diperintahkan kepadanya.

"Kau harus membiasakan diri, Adimas Yudha Erlangga. Jika Sang Dewata merestui rencana kita, kau yang akan meneruskan kekuasaan mendiang ayahandamu. Itu sudah menjadi keharusan."

Yudha Erlangga bergeming. Ia tak menatap sang pangeran yang masih betah memandangi obor-obor di depan sana. Telah ia sadari hal tersebut, meski ada satu hal mengganjal dalam benak.

"Kudengar, kau menghabiskan waktu cukup lama bersama Adimas Bayanaka semasa pelarian."

"Benar, Pangeran."

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now