Bab 73

720 117 96
                                    


Malwapati.

Pada sebuah balai, tampak enam sosok lelaki di sana. Tiga di antaranya duduk pada tempat-tempat yang disediakan; sejajar, bersihadap, dengan wajah tegang dan serius. Salah seorang adalah Senapati Agung Dhiwangkara, sedang di sampingnya Marunda. Di hadapannya, seorang pini sepuh. Sementara itu, duduk pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang yang begitu kental aura pemimpinnya, berwibawa, dan gagah laksana Bima, dialah sang Raja Malwapati yang disegani.

Di sebelah kanannya, sedikit di bawah, adalah seorang pemuda berparas rupawan, tampak pada kedua matanya sinar-sinar kepercayaan diri, pun berkharisma layaknya putra Pandu, Yudhistira, dalam cerita Mahabharata.
Sedang di depan pemuda tersebut, terdapat jarak sekitar dua-tiga langkah orang dewasa, duduklah sang patih Malwapati.

"Aku telah mendengar perihal Bhre Aruna terkait hukuman yang dilakukannya kemarin lusa." Suara tegas sang raja seolah menggetarkan benak masing-masing yang berada di sana. Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang dijaga dua prajurit di depan pintu masuk utama tersebut.

"Ampun, Gusti Prabu." Seorang pini sepuh mengaturkan sembah. Setelah mendapatkan ijin, segera ia mengutarakan pendapatnya. "Hamba rasa, apa yang dilakukan oleh Bhre Aruna Atyanta selaku pemimpin Haningan memang untuk mematuhi aturan, akan tetapi ini terlalu berlebihan.
Hamba rasa, itu sudah melewati batas kewajaran. Jika yang disampaikan Ananda Marunda benar, hukuman itu adalah hukuman tanpa dasar yang jelas. Seolah beliau hanya menggores kulitnya saja tanpa mengorek lebih jauh."

"Memang benar, Pini Sepuh, Senapati Agung Dhiwangkara telah menjelaskannya kepadaku sebelum ini. Dia melakukannya untuk memancing seseorang." Kalimat terakhir yang digumamkan sang raja seolah untuk dirinya sendiri, tetapi pada segenap yang hadir di dalam bale telah dapat menangkap artinya.

"Tentang pemuda yang merupakan pewaris sah Haningan itu, bagaimana perkembangannya?"

Senapati Agung Dhiwangkara menjura.
"Hamba mendengar dia mendapat perlindungan dari Galung Asri dengan baik. Walau sempat memisahkan diri demi mendampingi putra angkat mendiang Paduka Bathara Aditya Seta."

Sang raja manggut-manggut saja mendengarnya.
"Lalu, keterangan apa lagi yang kau dapatkan?"

Marunda, yang mendapat pertanyaan tersebut menoleh kepada sang senapati agung sejenak, hingga ia mendapat anggukan persetujuan. Mengaturkan sembah ia kemudian.

"Ampun, Gusti Prabu. Sebelum kembali kemari, hamba mendengar kabar bahwa Bhre Aruna tengah melakukan perjalanan ke Kuningan dalam rangka kunjungan kerabat."

"Kuningan..., wilayah terluas dengan pasukan yang tidak bisa dibilang sedikit. Banyak prajurit Malwapati yang diambil dari sana."

Ucapan sang raja memang tidak mendapat sahutan langsung dari segenap pihak yang berada di sana. Akan tetapi, dalam benak masing-masing telah mampu menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Bagaimana dengan telik sandi yang kau utus untuk mengamati pergerakan putra angkat mendiang Paduka Aditya Seta, Senapati Agung Dhiwangkara?"

Sekali lagi, sang senapati agung tersebut menjura.
"Hamba, Gusti Prabu. Menurut keterangannya, putra angkat beliau tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Justru, mereka tengah menunggu tindakan Gusti Prabu terhadap Haningan sembari mempersiapkan segala hal yang mungkin dibutuhkan. Juga, pihak Galung Asri telah menyatakan dukungannya terhadap pemuda tersebut."

"Apakah anak itu bisa dipercaya, Senapati?"

"Ampun, Ayahanda Prabu, jika hamba diperbolehkan bertutur barang sejenak." Sosok pemuda yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya angkat suara.

"Lanjutkan, Putraku," titah sang raja.

"Sebenarnya beberapa waktu lalu, hamba menerima pesan dari Dhimas Bayanaka."

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now