Bab 27

546 80 7
                                    


Nawala terkejut bukan main mendengar kata-kata Anggara. Pun Yudha Erlangga yang tanpa sadar mengalihkan perhatiannya atas para prajurit kepada Anggara.

"Tunggu dulu..., Anggara. Apa yang kau bicarakan? Membunuh... Ramamu?"

Anggara tidak menyahut. Pandangannya menatap tajam pada Nawala.

"Apa sebenarnya yang kau bicarakan itu, Anggara? Bagaimana mungkin kau menuduhku membunuh Ramamu?"

"Semua bukti yang mengatakan itu, Bayanaka."

Nawala menggeleng tidak percaya. Dari semua tuduhan yang diterimanya, entah mengapa tuduhan ini paling menyakitkan. Nawala tidak bisa menerima itu.

"Dengar, Anggara, aku tidak tahu bukti apa yang mereka sodorkan padamu, tapi aku berani bersumpah, bukan aku yang membunuh Paman Patih. Aku tidak sehina itu sampai membunuh orang yang telah banyak membantuku, Anggara!"

"Kalau begitu, bisa jelaskan padaku bagaimana kau bisa kehilangan cincinmu? Cincin kehormatan dari mendiang Paduka?"

Nawala tertunduk sesaat. Dia tahu telah kehilangan cincin itu sejak pertempuran di gerbang utara Hanimpura.

"Bukankah kau kehilangan cincin itu semenjak bertarung dengan Rama di gerbang utara?"

Nawala berdecak.
"Anggara, aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, tapi sekali lagi kukatakan, bukan aku yang membunuh Paman Patih. Ini hanyalah jebakan, Anggara!"

"Lalu mengapa kau lari?"

Nawala kembali terhenyak. Pertanyaan Anggara benar-benar tidak bisa dijawabnya.

Mengapa dia lari?

Apakah hanya karena dia ingin mengantar Yudha Erlangga ke Malwapati? Demi menyelamatkan Haningan?

Tidak!

Bukankah sebelumnya dia memang berniat kabur dari perlindungan Galung Asri?

"Jawab, Bayanaka! Jika kau memang tidak bersalah, mengapa kau lari dari semua ini? Mengapa harus mengorbankan Ramaku?!"

Hening.

Lagi-lagi Nawala tidak bisa menjawabnya. Kematian Patih Sanjaya mungkin memang karenanya. Bahkan para prajurit tidak berani bertindak, hanya mengawasi pergerakan lawan di depannya dengan seksama sembari tetap mengacungkan tombak-tombak runcing mereka.

"Anda salah paham, Tuan Anggara. Nawala hanya dijebak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab."
Ucapan Yudha Erlangga yang memecah kesunyian membuat Anggara menatap kepada pemuda yang masih dalam posisi terkepung. Kedua matanya memicing. Dia yakin pernah melihat pemuda itu.

"Siapa kau?"

Tidak ada jawaban. Yudha Erlangga sendiri bingung akan menjawab apa. Harusnya ia tidak terpancing untuk membela Nawala tadi.

Lama tidak mendapat jawaban, Anggara mengambil tindakan.
"Tangkap mereka!" serunya pada para prajurit.

Yudha Erlangga kembali harus berjibaku dengan tombak-tombak prajurit yang semakin bertambah. Sementara Nawala telah mendapat serangan dari Anggara. Pedang perak Anggara berkilat-kilat terkena sinar sang surya sementara Nawala hanya menangkisnya dengan pedang Nagasangkar yang bahkan belum dikeluarkan dari sarungnya.

"Cabut pedangmu, Bayanaka!"

Nawala bergeming. Dirinya masih tidak menyangka bahwa saat ini tengah bertarung dengan sahabatnya sendiri. Sahabat yang telah ia anggap layaknya saudara. Berbeda dengan Nawala yang meladeni lawannya setengah hati, Anggara begitu bernafsu dalam menyerang Nawala. Serangannya acapkali sangat berbahaya. Pedang peraknya seakan seperti kilatan cahaya yang mampu menggores dalam. Dalam suatu kesempatan, serangan kedua sahabat itu sempat saling tahan. Nawala menahan dengan sarung pedangnya, sementara Anggara masih menekan kuat.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now