Bab 39

507 79 9
                                    


"Goblok kalian semua! Mendo!* Otak sukun!" Segala umpatan keluar dari mulut yang tertutup kumis tebal dan jambang, Rowot, pimpinan sekelompok prajurit abal-abal yang nyatanya berhasil memperdaya seorang Demang hingga membuat huru-hara di sebuah desa. Dan sebagai hasilnya, sekumpulan anak gadis mereka dapatkan sampai memenuhi tiga pedati.

Namun, karena terlalu keblinger*, jerih payah mereka malah dibuang-buang di sepanjang perjalanan. Satu persatu gadis yang telah mereka nikmati kemolekannya ditinggalkan begitu saja di hutan, paling sering adalah diberikannya secara cuma-cuma kepada bramacorah lain yang berniat menghadang. Cinta damai adalah alasan mereka. 

*Mendo=goblok: bodoh, dungu
*Keblinger=terlena, kepayang

Namun, mereka tidak menyadari bahwa gadis-gadis itu bukanlah kayu yang bisa dibelah, ketika satu persatu gadis dibuang, maka sisa gadis di pedati semakin sedikit. Dan itulah yang baru diketahui sang pemimpin bernama Rowot tersebut.

"Bagaimana mungkin kalian tidak memberitahu tentang hal ini? Hah?! He, krucul! Jawab!"

Semua anak buah Rowot menunduk, sejatinya dua dari mereka telah sering mengingatkan antar kawan dan pimpinan, namun suara mereka bagai angin lalu saja, "Mereka masih banyak," begitu setiap kali diingatkan. Sekarang, dua anak buah itu hanya merutuk dalam hati, mereka tidak mau membantah ucapan sang pemimpin karena telah hapal dengan perangainya.

"Parjali!" panggilan sang pemimpin seketika mendapat tanggapan dari anak buahnya. Seorang lelaki berambut pendek-keriting maju dan langsung menghormat.

"Keluarkan mereka semua dari pedati!"

Tidak perlu menunggu sang pemimpin marah karena harus mengulang perintahnya, lelaki bernama Parjali itu menuju satu-satunya pedati yang tersisa, membuka penutup belakangnya lalu berteriak-teriak kepada para penghuni di dalamnya.

"...cepat!" Teriakan terakhirnya segera diikuti sosok-sosok gadis berwajah sembab. Satu persatu dari mereka turun dengan bantuan kasar dari Parjali. Ditatanya gadis-gadis yang tersisa di depan sang pemimpin.

Rowot memandang gadis-gadis itu dengan mata nyalang. Tidak perlu dihitung lagi karena jumlahnya tinggal lima orang. Angka yang jauh dari kesepakatan dari sang Tuan, Nagapeti. Koar-koar kesombongannya sempat terngiang kembali ketika kesepakatan itu mencapai persetujuan.

Lima puluh gadis yang ia janjikan kini tinggal kata-kata masa lalu. Kegundahan melanda seketika, apalagi membayangkan sang Tuan murka, rasanya Rowot ingin sembunyi di perut bumi. Namun, apa daya, semua telah terjadi. Nasi tiwul tidak mungkin menjadi ayam bakar.

"Bagaimana, Tuan? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Parjali.

Rowot tidak menyahut, dia hanya mendengkus bak banteng marah. Diperhatikannya lagi lima gadis itu. Dua gadis yang pakaiannya bercirikan penari, dua lagi gadis desa biasa, dan yang seorang berpakaian temanten*, mengingatkan Rowot akan tindakannya di sebuah acara perkawinan.

Gadis-gadis itu menunduk lesu. Kesedihan dan putus asa terlihat. Mereka telah dengan jelas mengetahui apa yang terjadi dengan teman-teman senasib yang lain. Harapan mereka telah pupus ketika mereka sadar dua pedati yang sebelumnya penuh telah habis tidak tersisa. Apa yang harus dipanjatkan lagi ketika Sang Maha Agung seolah tidak mendengar doa-doa mereka.

*Temanten : pengantin

Berbeda dengan doa para gadis, Rowot berharap akan ada jalan keluar dari masalah ini. Janjinya memberikan lima puluh gadis sirna sudah. Sang tuan pasti akan marah, maka bolehkah ia berdoa agar tiba-tiba terjadi hujan gadis? Atau paling tidak, ada lima puluh gadis yang tersesat di hutan dan tidak sengaja mereka temukan. Mustahil jika dipikirkan secara akal sehat, tetapi setiap manusia selalu menyelipkan sebuah harapan yang paling tidak mungkin sekalipun di saat genting.

MIRUDA (SELESAI)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt