Wiwitaning Crita (2)

697 103 57
                                    


Tangis penuh haru begitu menyesakkan dada Indira. Susah payah ia mencoba mengeluarkan jabang bayi di dalam perutnya agar lekas disambut dunia. Kebiasaannya membantu dukun beranak dalam menangani setiap kelahiran membuatnya tidak begitu kesulitan mempersiapkan persalinannya sendiri. Hingga akhirnya tangis si bayi berlomba dengan suara petir dan kilat yang saat itu seolah mengamuk. Dengan perasaan campur aduk, diraihnya sebuah wadah air, lalu diusap si bayi perempuan gemuk itu dengan penuh kasih sayang.

Si bayi masih saja menangis, mungkin juga karena air itu terlanjur dingin. Sang ibu memang sudah menyiapkannya dalam keadaan panas, namun itu ketika perutnya masih belum mulas. Saat dirinya hanya bisa menunggu sang jabang bayi lahir, tentu air itu menjadi dingin kembali. Tidak ada yang membantu. Mau bagaimana lagi, dia hidup sebatang kara semenjak berusia sepuluh tahun. Tiada sanak keluarga yang dimiliki. Kehadiran sang Prabu memang menjadi hal yang membuatnya merasa hidup sebagai manusia, terlebih sebagai perempuan.

Ketika si bayi telah cukup bersih, dililitkannya sehelai kain hingga putri kecilnya merasa nyaman. Didekatkannya ke dada, berharap si kecil mau menyusu. Kala ia merasa air susunya mulai mengalir ke bibir mungil nan merah itu, Indira menangis kembali. Dibelainya si bayi kecil yang menyedot puting ibunya dengan kuat tersebut. Sekilas wajahnya mirip sang ayah, tetapi bukankah wajah bayi masih bisa berubah? Bibir mungil itu tentu darinya, mungkin ketika dewasa nanti si putri kecil akan lebih mirip dengannya. Tersenyum Indira dengan angan-angannya.

Tetapi kemudian, bayangan misterius di ambang pintu itu melenyapkan hayalan indah si perempuan. Indira menghapus air mata di pipi. Inilah saatnya ia harus menyusul sang kekasih hati. Ditatapnya lekat-lekat putri kecilnya lalu ia letakkan di atas dipan, beruntungnya si bayi yang mendapatkan air susu melimpah hingga ia merasa kenyang dan pulas dalam dekapan sang ibu. Tanpa ragu, dihampirinya tiga sosok misterius dengan bentuk telinga yang sama dengan milik sang Prabu. Dan senyuman penuh kepedihan itu menjadi hal terakhir yang bisa ia lakukan sebelum rasa sakit di dadanya membuatnya tumbang.

~~

Kejadian itu begitu cepat dan tidak terkira. Nilaya bahkan tidak percaya pada penglihatannya. Ketika dirinya memutuskan untuk tidak peduli lagi pada amanat terakhir sang suami, tiba-tiba saja sesuatu muncul untuk menyelamatkan si bayi kecil yang masih merah kulitnya. Umpatan Ukasora yang kehilangan sebelah tangannya bahkan tidak dihiraukan. Sorot mata tajamnya terpusat kepada Bhargawala yang mengeluarkan aura mengerikan di depan sana. Sebuah tanda dengan cahaya keunguan pada dua makhluk berbeda asal itu sudah menjelaskan semuanya.

Nilaya baru menyadari bahwa inilah tujuan sang suami kala itu. Suaminya tahu jika putrinya adalah seorang pratali, pratali dari salah satu keturunan Trah Bayu Sakunta. Sebuah kejutan yang membuatnya tidak tahu harus berpikir apa.

"Kanjeng Ratu... itu...."

Gumaman Iswara, salah seorang dayang sekaligus pengawal kepercayaannya sama sekali tidak digubris. Sang Ratu masih mencerna secara baik-baik semua kejadian. Hingga ketika Ukasora berniat menyerang Bhargawala yang masih bergeming dengan mendekap si jabang bayi, barulah ia bertindak.

"Hentikan, Ukasora!"

Sang Mahapatih sesungguhnya benar-benar tidak mau menerima perintah itu, akan tetapi demi menghormati sang saudara yang kini menjadi junjungannya, maka diredamnya amarah yang seakan ingin menghancurkan seisi bumi tersebut.

"Kita pergi."

Usai berkata demikian, Nilaya mundur teratur, lalu sosoknya segera menghilang di tengah badai yang seolah berkutat di sana.

"Mari, Ukasora, kau dengar sendiri perintah Kanjeng Ratu. Jangan kau usik mereka jika tidak ingin ada masalah dengan seluruh 'pasangan' di nuswantara ini."

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now