Bab 8

816 111 5
                                    


Mayasari terpaku di tempat. Seseorang mengarahkan anak panah ke arahnya, atau lebih tepatnya ke arah lelaki di belakangnya.

"Kangmas Anggara?!"

"Pergi, Diajeng!"

Mayasari menggeleng cepat membuat Anggara tidak mengerti sekaligus bertambah marah.

"Apa yang kau lakukan pada adhiku, siluman kurang ajar?!" ujarnya penuh penekanan.

"Kangmas, tolong jangan! Dia tidak berbuat apa-apa padaku. Dia tidak jahat, Kangmas."

"Putri, tidak apa-apa. Patuhi perintah Kangmasmu."

"Diam kau siluman! Sihir apa yang kau gunakan pada adhiku?" 

"Kangmas!"

"Putri."

Mayasari menoleh. Ditatapnya mata teduh sang penolong. Bhargawala mengangguk pelan seolah meyakinkan pada sang Putrinya bahwa dia akan baik-baik saja.

Mayasari tidak bisa berbuat apa-apa, perlahan, dengan tubuh gemetaran, dia menyingkir dari hadapan dua lelaki beda dunia itu meski dalam hati kekhawatiran besar melanda.

Kini tinggal Bhargawala dan Anggara yang masih dengan posisi siap menembakkan anak panahnya. Diam-diam, Bhargawala mengagumi kehebatan Anggara dalam menyembunyikan aura keberadaannya sampai dia tidak menyadari Senopati muda itu sudah dalam posisi menyerang. Tapi, dia tidak boleh lengah kali ini. Bhargawala bisa merasakan tenaga dalam yang mengaliri anak panah itu. Bukan tenaga dalam biasa.

"Siluman lancang."

Seketika Anggara melesatkan anak panahnya namun tiba-tiba tubuh Bhargawala berubah menjadi puluhan burung gagak yang terbang bebas meninggalkan kepatihan. Sementara anak panah Anggara mengenai sebuah batu yang langsung meledak.

~~~

Para dayang tidak mengerti dengan perlakuan junjungan mereka yang menyeret paksa Mayasari, adiknya sendiri. Setahu mereka, kakang-adhi itu selalu rukun, tapi sekarang yang para dayang itu lihat adalah sebuah pemaksaan. Namun, apalah daya para dayang itu. Yang bisa mereka lakukan hanya mengikuti kemana sang tuan melangkah.

"Kalian para dayang, atas nama Rama Sanjaya, kuperintahkan untuk menjaga Diajeng Mayasari sehari penuh setiap hari. Jangan biarkan dia keluar sendirian tanpa seijinku atau seijin Rama. Dan akan kuperintahkan prajurit untuk berjaga di depan kamar. Mengerti?"

"Sendhika dhawuh, Ndoro." Para dayang serempak menjawab.

"Dan kau, Diajeng."
Anggara menatap tajam adiknya yang mulai menangis.

"Jangan pernah temui siluman itu lagi. Kau tahu apa yang akan Rama lakukan jika tahu bahwa kau punya hubungan dengan siluman tidak tahu diri itu. Mengerti?"

Anggara segera berlalu, meninggalkan Mayasari yang tidak henti-hentinya menangis. Sepeninggal kangmasnya, baru para dayang mendekat dan mencoba menenangkan sang Ndoro Putri.

Dengan gusar, dinaikinya kuda andalan menuju suatu tempat. Beberapa hari setelah kepulangannya ke Haningan, sang Rama memintanya untuk mengawasi Mayasari. Tentu saja Ramanya punya alasan tepat melakukan itu. Beberapa kali sang Rama menangkap hal mencurigakan, seperti Mayasari yang lebih sering menghilang dari kamar tanpa sepengetahuan para dayang dan laporan dari salah satu abdi yang mengatakan jika adiknya itu sering berbicara sendiri di kamar.

Sang Rama tidak bisa memastikan penyebab itu semua dikarenakan kesibukannya di kedaton Haningan. Dan hari ini, dengan mata kepalanya sendiri, adik kesayangannya itu malah asyik berduaan dengan entah siluman jenis apa, di taman sari. Anggara tidak habis pikir, bagaimana bisa adiknya mempunyai hubungan dengan siluman dan sejak kapan? Tapi bagaimananapun juga, dia harus segera menyelesaikan masalah ini sebelum terdengar ke telinga Ramanya bahkan sang Paduka.
Kuda yang ditunggangi Anggara terus berpacu seakan mengerti keinginan tuannya untuk segera sampai ke Galung Asri.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now