Bab 87

394 66 12
                                    

.
.

Ki Andaka tersengal-sengal ketika Putih menghampiri. Keadaan pendekar Tambak Lereng Ireng itu sangat mengenaskan. Lengan kirinya putus sementara tangan satunya patah, tubuhnya penuh luka, selendang andalannya bahkan hanya menyisakan satu hasta saja. Erangan yang sebenarnya adalah ucapan itu tidak jelas apa maksudnya. Teringat ia akan pertarungannya dengan Resi Bimaka.

Ketika itu, ia memang sedikit keteteran menghadapi sang resi. Nyatanya, lawannya kali ini memiliki tataran ilmu yang mumpuni. Ada kalanya ia memanfaatkan kelengahan Resi Bimaka dengan campur tangan para prajurit Hanimpura, tetapi saat ide liciknya hampir berhasil, tiba-tiba saja satu lawan lainnya muncul. Pemilik aji mantra yang pernah dihadapi kala berada di Lembah Jerit itu berhasil mematahkan tangan kirinya. Selanjutnya, sang resi yang menyadari dirinya akan dicurangi, segera melakukan tindakan. Diserangnya Ki Andaka dengan ganas menggunakan Angin Manggilingan hingga ia kehilangan lengannya. Setelahnya, Ki Andaka bagai tidak berdaya.

Putih memandang hampa rekannya tersebut. Tidak ada mimik iba pada wajah pucatnya. Akan tetapi, ia telah mengerti apa maksud Ki Andaka sekalipun tidak ada kata yang terucap. Dengan sekali gerakan, Putih membuat pendekar Tambak Lereng Ireng tersebut bungkam. Tidak berapa lama, datang sekitar lima prajurit yang mendekat untuk memeriksa keadaan.

"Permisi, Nyisanak, biar kami merawat beliau," ujar salah seorang prajurit.

Tanpa menyahut, bahkan mempedulikan kehadiran para prajurit Hanimpura, Putih berbalik kemudian berlalu begitu saja. Sementara mereka yang hendak menolong Ki Andaka tercenung ketika mendapati orang yang akan dibantu telah kaku tubuhnya.

.
.

Ajisraya

Sosok perempuan di bawah pohon randu alas itu sesekali menunduk dan meringis dengan tangan yang memegangi bahu. Desisan terdengar kala nyeri kembali terasa. Ditilik bahu kanannya yang kini terdapat tanda cakra keret. Si perempuan kembali meringis saat melihat bagian itu melepuh. Teringat ia kala sebuah besi panas ditempelkan sebagai tanda bahwa dirinya sah menjadi salah satu Ajisraya.

"Kau akan demam nanti."

Ucapan itu sontak membuat si perempuan bangkit. Dengan cepat, ia tarik satu kerisnya yang berluk tiga sembari mengamati-amati sekeliling, mencari si sumber suara. Saat itu, sosok manusia sedang bertengger santai pada salah satu dahan pohon.

Si perempuan menatap nyalang pada sosok laki-laki tersebut. Kewaspadaannya meningkat. Sementara si sosok laki-laki akhirnya turun dari pohon dengan sangat mudah, dihampiri si perempuan yang masih menodongkan senjata kepadanya.

"Satu warsa lalu aku juga mengalaminya. Ketika itu bapaku memberikan obat untuk meredakan nyeri sekaligus menurunkan panas di tubuh yang biasanya bakal sangat terasa menjelang malam," ucap si laki-laki tanpa menaruh gentar pada si perempuan. Ia berhenti dengan mengambil jarak sekitar satu tombak.

Memahami ucapan orang asing tersebut, si perempuan mengendurkan keris. Ia sarungkan kembali senjatanya tersebut tetapi sepasang mata beningnya masih menatap awas, terlebih ketika si laki-laki mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya.

"Obat ini sudah terbukti khasiatnya di keluargaku secara turun temurun. Minumlah sebelum tidur."

Awalnya si perempuan ragu dengan sesuatu yang disodorkan si laki-laki, tetapi ketika ia diperlihatkan tanda yang sama di bahu lawan bicaranya tersebut, akhirnya si perempuan bisa menaruh kepercayaan.

"Arya Wisesa."

Si perempuan kembali menatap si sosok laki-laki yang kiranya memperkenalkan diri.

"Galuh..., Galuh Puranti."

Si perempuan bermata bening membalas, kali ini disertai senyuman. Melihat aura yang mengelilingi Arya Wisesa, dalam benaknya berani menyatakan jika laki-laki bermata elang di depannya itu bisa dijadikan teman baik, mungkin lebih.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Where stories live. Discover now