Bab 57

525 85 11
                                    


Tempat yang dijadikan titik kumpul oleh Ki Sabrang Lor sudahlah masuk wilayah Haningan, letaknya yang jauh dari kotaraja membuatnya disebut sebagai daerah pinggiran, sama halnya dengan wilayah di desa Bulukuning yang berbatasan dengan Kuningan. Dibutuhkan waktu dua hari untuk mencapainya dengan berkuda. Tidak banyaknya rintangan menjadikan Nawala lekas sampai. Tentu saja ia mengikuti petunjuk Damar sebelumnya sehingga bisa menghindari persiagaan prajurit Haningan.

Pada hari ketiga saat waktu masih begitu terang, tibalah mereka di tujuan sesuai arahan Saswira, sebuah desa yang cukup makmur bernama Reja Agung. Langsung saja tiga pemuda itu mencari kepala desa yang merupakan sahabat Ki Sabrang Lor dan telah menerima pesan beliau sebelumnya.

"Jadi, Ki Sabrang Lor belum kemari?" tanya Nawala ketika Ki Buyut baru saja menerima mereka di kediamannya.

"Belum, Ananda. Beliau hanya berpesan untuk menerima pemuda dari Haningan. Beliau juga bilang akan kemari, tetapi belum jua tampak."

"Ki Sabrang Lor memberikan waktu lima belas hari kepada kita. Sementara tersisa dua hari lagi. Aku rasa mungkin beliau masih dalam perjalanan," ujar Saswira.

"Ya, mungkin begitu. Sebaiknya kita menunggu beliau di sini sampai batas waktu berakhir. Jika beliau tidak kunjung tiba, kita harus segera menyusul ke Galung Asri," putus Nawala.

"Aku rasa itu keputusan yang baik. Kalian juga harus melepas lelah, bukan?" Ki Buyut menambahkan. "Cempaka, mana wedang untuk tamu-tamu Bapa?"

Sedikit berteriak Ki Buyut kepada seseorang di belakang sana. Tidak berapa lama, seorang gadis manis muncul membawa nampan berisi minuman dan pisang rebus yang masih hangat.

"Iya, Bapa. Cempaka sudah membawakan wedang untuk tamu-tamu Bapa."

"Nah, kemarilah segera. Hidangkan kepada tamu-tamu Bapa ini."

Cempaka bergeming. Ada yang berbeda dengan tamu-tamu sang Bapa kali ini. Jika biasanya dia menjamu Ki Jagabaya, Ki Jagatirta dan pamong desa lainnya yang telah sepuh, maka adanya tiga pemuda yang duduk di balai-balai bambu itu menjadi sangat berbeda. Secepatnya ia mengamati satu persatu tamu-tamu tersebut. Tampak sebaya, pikir Cempaka.

Namun, tatapannya seketika terpaku kepada sosok pemuda yang sedang berbincang lirih pada salah seorang kawannya sembari membebat sebelah tangan dengan kain. Pemuda dengan wajah tampan dan mempunyai daya tarik yang begitu memikat bagi Cempaka.

"Cempaka, kenapa malah melamun? Cepat!"

Suara sang Bapa akhirnya membuat si gadis tersadar. Maka dengan segera ia menghidangkan jamuan yang dibawanya. Sedikit gugup Cempaka ketika ia menghidangkan wedang untuk si pemuda.

"Terima kasih, Dewi."

Ah, bahkan suara merdunya begitu menggetarkan hati. Buru-buru Cempaka pergi dari tempat itu tanpa membalas ucapan Nawala. Tidak ia pedulikan juga tatapan sang Bapa yang seolah bingung dengan tingkahnya.

"Maaf, Ananda sekalian. Putri saya memang agak susah diatur. Maklum, dia sudah ditinggal oleh ibunya sejak kecil. Jadi, ya begitu, tidak punya panutan seorang ibu yang lemah lembut, " tutur Ki Buyut dengan sungkan.

"Ah, tidak mengapa, Ki Buyut. Saya rasa itu wajar. Ngomong-ngomong, selagi kami menginap di sini, adakah yang bisa kami bantu?"

"Aku rasa itu tidak perlu Ananda Nawala. Bukankah Ananda-Ananda ini adalah tamu saya? Seharusnya sayalah yang harus melakukan sesuatu untuk Ananda sekalian,"

"Tetapi, kami tentu merasa sungkan, Ki Buyut. Bagaimanapun, kami tetaplah akan merepotkan Ki Buyut sekeluarga," tambah Yudha Erlangga.

"Ah, tentu tidak. Bagi saya, tamu-tamu Ki Sabrang Lor adalah tamu-tamu saya juga. Jadi saya harus memperlakukan Ananda sekalian layaknya tamu yang lain." Ki Buyut masih kukuh dengan pendiriannya.

MIRUDA (SELESAI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora