Bab 99

523 65 25
                                    

.
.

Denting pedang yang beradu menggetarkan benak, menyayat hati dengan gesekan-gesekan pencipta kembang-kembang api. Anak-anak panah berkesiuran di udara, sebagian berselisih dengan anak-anak panah lawan untuk menembus raga yang tidak waspada, sebagian lagi bertabrakan dengan sesamanya. Hiruk pikuk perang di tanah lapang itu bagai daun pisang yang terkena angin kencang, bertentangan satu sama lain sampai koyak bagian-bagiannya. Itulah yang terjadi pada manusia-manusia di medan laga saat ini. Telah banyak tumpah darah mereka di kulit bumi, tetapi tidak ada niatan untuk menyudahi.

Pada pihak Senapati Agung Dhiwangkara, pasukannya yang menggunakan gelar supit urang masih mampu mempertahankan kedudukan, bahkan semakin sengit mereka menggerus pertahanan lawan. Sandi-sandi tidak henti diberikan agar kedudukan para prajurit tidak goyah, juga untuk memberikan tanda bagi satu-dua bagian yang bisa mengambil peluang.

Sang senapati agung sendiri tidaklah berpangku tangan. Dirinya bersama Tumenggung Banyak Udhaya menumpas banyak prajurit lawan baik dari pihak Kuningan maupun Kadiri. Beberapa prajurit yang terjebak susunan supit urang itu terpaksa menerima terkaman dua kesatria pinilih tersebut. Kebanyakan dari mereka memanglah prajurit baru, yang belum cakap dalam perang besar semacam ini.

Sebenarnya apabila ditilik, telah tampak keunggulan dari pasukan sang senapati agung. Sekalipun lawan juga menggunakan gelar perang yang sama, tetapi nyatanya mereka kurang sabar dalam menghadapi musuh. Pasukan bantuan dari Kuningan dan Kadiri memang tampak menggebu-gebu pada awalnya. Hal itu sempat membuat mereka unggul. Akan tetapi, secara perlahan, pasukan sang senapati agung mulai membalik keadaan. Terlebih, ketika pasukan Wanda Tirta berhasil mengganyang lebih dari setengah pasukan pengepung dengan gelar wulan tumanggalnya. Gebrakan itu pun telah mampu menyiutkan semangat tempur di pihak musuh.

Dan, dari sekian kesibukan para manusia yang beradu, kelompok pasukan bercaping adalah yang paling anteng. Kelompok itu membentuk lingkaran yang rapat dan disiplin, dilindungi oleh beberapa pasukan pemanah tanpa kuda. Pasukan pemanah itu pun telah bersiaga pada tempatnya. Tali busur mereka sudah ditarik seolah-olah siap dilepas kapan saja. Dan, memang satu-dua kali senjata itu terlepas dari empunya guna mencegah prajurit lawan untuk mendekat.

Di tengah-tengah kelompok bercaping tersebut, Raka Gangsar tampak mengamati jalannya perang. Tidak terlihat padanya raut wajah takut maupun cemas. Tidak pula gentar benaknya walau menjadi tawanan. Sebaliknya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Ketika itu, ia berkata kepada para prajurit bercaping yang mengelilinginya.

"Terlihat seru di sana. Apa kita tidak akan turut serta?"

Tidak adanya balasan dari siapa pun pantang membuat Raka Gangsar kesal. Ketenangannya sekarang bagai air telaga. Kemudian, berkata lagi ia, kali ini agaknya kepada salah satu penunggang bercaping di depan.

"Lama kita tidak beradu, Bayanaka. Nagasangkarmu itu..., tidakkah kau merasa ia ingin keluar?"

Yang disebut namanya bergeming, tetapi telah tampak dari gelagatnya bahwa ia mendengarkan. Diam-diam Nawala melirik bagian kanan pelana. Di sana pusakanya tergeletak rapi, bersanding dengan bungkusan lain yang merupakan anak panah pemberian Nastiti.

"Aku tahu kau juga sedang menahan diri untuk tidak turun dari kudamu. Kenapa kita tidak menyisih untuk menciptakan tempat sendiri?" Raka Gangsar kembali berucap. Telah ia hapal perawakan di depannya itu sebagai seseorang yang diincarnya selama ini.

Sementara itu, Nawala menghela napas. Memang tidak bisa disangkal apabila terdapat segunung benci pada benaknya terhadap lelaki yang kini menjadi tawanannya tersebut. Kembali ia teringat apa saja yang diperbuat Raka Gangsar terhadap orang-orang terkasih. Dadanya mendadak bergemuruh. Kedua tangannya mengeratkan genggaman pada tali kekang. Rasa-rasanya pemuda itu ingin menyumpahi Raka Gangsar dengan kutukan terburuk, andai ia mampu.

MIRUDA (SELESAI)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant