Bab 49

542 90 26
                                    


Malwapati
Beberapa waktu yang lalu.

"Senapati Socacendawa?"

"Benar, Senapati Anggara. Telik sandiku mulai menangkap pergerakannya. Ada kemungkinan besar ia mendapat dukungan dari beberapa nagara bawahan Malwapati, dan itu termasuk Haningan, nagara asalmu."

Anggara terdiam. Pandangannya tertuju pada lantai kayu jati yang mengilat terkena cahaya lampu gantung. Kedua tangan yang mengepal di atas pahanya yang bersila itu bergetar.

"Aku tahu ini mungkin menjadi sebuah pertentangan bagimu. Tapi aku bisa meyakinkan bahwa keterangan yang didapat telik sandiku bisa dipercaya."

"Saya tidak berani meragukan hal tersebut, Gusti Senapati."

Sang Senapati Agung manggut-manggut.
"Saat ini aku belum memutuskan pergerakan, Senapati Anggara. Aku masih ingin memastikan keadaan. Juga memastikan bahwa kau masih berada di pihak kami."

"Sumpah setia saya hanya untuk Bhumi Malwapati, Gusti Senapati."

"Bagus. Aku tahu kau bisa dipercaya. Untuk itulah aku mengundangmu kemari secara diam-diam. Bagaimanapun, aku perlu mewaspadai semua orang, termasuk kawan seperjalananmu itu. Apakah Bhre Aruna yang mengutusnya?"

"Benar, Gusti Senapati." Anggara menunggu sang junjungan melanjutkan, tetapi tampaknya beliau belum berkehendak, hingga ia beranikan bertanya, "Apakah ada kemungkinan Bhre Aruna terlibat?"

Senapati Agung Dhiwangkara hanya mengelus janggutnya yang ditumbuhi jambang lebat, sepasang mata keriputnya terlihat semakin mengerut.
"Aku belum bisa memastikan, tetapi segala kemungkinan tetap ada."

Kembali Anggara menatap lantai kayu. Kedua tangannya semakin mengepal erat, bahkan telah berkeringat.

"Aku ingin kau melaporkan segala yang terjadi di Haningan, khususnya Hanimpura. Amati pergerakan mereka yang patut dicurigai. Akan kukirim telik sandi untukmu nanti."

"Sendika dhawuh, Gusti Senapati."

"Aku rasa hanya itu yang ingin aku sampaikan. Adakah yang belum jelas, Senapati Anggara?"

Termenung sejenak Anggara, memang ada sebuah pertanyaan yang ingin dia sampaikan, meski ragu-ragu. Namun, ia utarakan jua maksudnya.
"Apakah Gusti Bayanaka termasuk dalam masalah ini?"

Berkerut kening Senapati Agung Dhiwangkara, juga terdengar helaan napas panjang setelahnya.
"Baru-baru ini aku mendengar, bahwa sebuah pasukan yang dipimpin sesepuh Kriyak telah melakukan perlawanan di sekitar Gunung Kelud. Pasukan itu melawan prajurit nagara Kriyak yang diperintah langsung oleh Paduka Bathara di sana. Dan kau tahu, apa alasan mereka melakukan itu?"

Anggara bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Dia baru mendengar kabar itu. Dan, sepertinya Senapati Agung Dhiwangkara tidak mau menunggu balasan dari bawahannya tersebut.
"Mereka melakukan perlawanan untuk membantu putra angkat mendiang Paduka Aditya tersebut."

Senapati Agung Dhiwangkara mencoba membaca raut wajah Anggara, dan memang raut muka terkejutlah yang bisa ditangkapnya, sehingga beliau melanjutkan, "sementara aku masih menunggu keterangan dari Paduka Bathara di Kriyak sana. Meskipun ini masih belum jelas, tetapi Baginda Raja telah mengutusku untuk menuntaskan masalah yang bisa menjadi besar ini. Maka dari itu, aku mengutus salah satu telik sandiku untuk mengamati pergerakan Raden Haningan itu."

"Jadi, Senapati Agung telah mengetahui di mana Gusti Bayanaka?"

"Tidak. Belum. Aku bahkan tidak tahu kapan telik sandiku itu menjalankan perintah. Dia bergerak sesuai kemauannya sendiri. Sungguh merepotkan, tetapi sayangnya hanya dia yang bisa diandalkan saat ini."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Where stories live. Discover now