Bab 66

677 107 42
                                    


Manik mata Ayu Sekar bergerak gelisah. Di hadapannya kini Jaka Barung menatapnya dalam, menunggu.

"Jadi, bagaimana, Diajeng? Sampai kapan Diajeng Ayu akan menutupinya?"

Ayu Sekar menggigit bibir bawahnya. Wajahnya menyiratkan kebimbangan. Begitu jeli lelaki itu mengamatinya sampai tahu bahwa dia mempunyai hubungan dengan seseorang. Akan tetapi, dia juga patut merasa ceroboh, gerak-geriknya yang tidak biasa sudah pasti menimbulkan tanda tanya.

Apa mau dikata jika seorang gadis tengah jatuh cinta. Hati mereka akan dipenuhi bunga-bunga asmara, menimbulkan satu rasa pencipta bahagia, sekalipun keras pikirannya.

Begitu pula yang dialami oleh Ayu Sekar. Ikatan pertemanannya dengan Yudha Erlangga nyatanya telah begitu dekat. Entah sejak kapan mereka jadi seakrab itu. Hampir setiap hari mereka bertemu, berbincang mengenai hal-hal yang bahkan tidak biasa dipikirkan oleh gadis itu, tetapi yang demikian begitu menyenangkan untuk dijalani bersama.

"Diajeng?"

Melihat putri bekas gurunya itu masih diam, Jaka Barung akhirnya menyerah. Duduklah lelaki itu kemudian di pinggiran teras, diikuti Ayu Sekar yang mengambil tempat di sebelahnya, sekitar satu depa saja. Helaan napas panjang dikeluarkannya dengan berat. Pandangannya menerawang jauh ke langit yang diselimuti awan tipis.

"Aku tidak akan memaksa Diajeng untuk menceritakan siapa pemuda itu. Tetapi, melihat sikap Diajeng, tentu pemuda itu bukanlah jodoh yang sudah ditetapkan oleh tuan guru, benar begitu?"

Tidak ada jawaban. Jaka Barung juga tidak menoleh sekadar membaca mimik Ayu Sekar. Nyatanya lelaki itu masih mengamati langit putih yang terkadang dilintasi para burung.

"Aku mengatakan ini bukan untuk menekanmu, Diajeng. Justru karena aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri, maka aku melakukannya. Aku tidak mau Diajeng bernasib sama denganku. Bukankah kau sudah tahu bagaimana kisahku dulu?"

"Tapi, kenyataannya Kakang Jaka tidak bersalah. Kakang sengaja mengalah pada sayembara itu karena tahu bahwa putri sang tuan rumah telah menjalin kasih dengan lawan Kakang yang juga sahabat Kakang sendiri, benar begitu, kan?"

Jaka Barung menghela napas berat, seolah sebongkah kayu besar baru saja hinggap di bahunya. Sanggahan yang dilontarkan Ayu Sekar memang benar. Setelah kejadian itu; setelah kekalahannya yang disengaja; bapa Ayu Sekar mengusirnya dari padepokan dan menandainya sebagai murid durhaka, sehingga ia tidak diterima di padepokan manapun.

"Semua yang ada di padepokan mengetahui hal itu, Kakang. Mereka hanya tidak berani membantah ucapan bapa," Ayu Sekar melanjutkan.

"Membantah ucapan seorang guru itu tindakan yang tidak baik, Diajeng Ayu."

"Tetapi, bagaimana jika ucapan itu merupakan perintah yang salah? Bagaimanapun, bapa tetaplah manusia, Kakang. Tidak mungkin semua yang dikatakan dan dilakukannya adalah benar."

"Memang benar, Diajeng. Tetapi, sebagai seorang guru, tentu beliau telah memikirkan hal-hal secara matang sebelumnya. Beliau telah menjadi panutan, maka pastilah sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri, yang kadangkala sulit kita mengerti. Lagi pula, aku sudah tidak memikirkan masa laluku itu, Diajeng. Aku sudah menerimanya, bahkan dengan kejadian itu aku mendapatkan pelajaran hidup yang luar biasa.

Aku belajar dari kesalahanku dan sebagai hadiahnya, Sang Maha Pengasih memberiku Ambar, sebagai teman hidupku. Oleh karenanya, aku ingin Diajeng juga belajar dari kesalahanku di masa lalu. Aku tidak ingin Diajeng bernasib sama sepertiku."

"Tetapi, bagaimana jika dengan melakukan kesalahan itu, aku akan mendapatkan kebaikan seperti yang Kakang alami?"

Kali ini Jaka Barung terpaksa berdecak, dipijitnya si kening yang mendadak berkedut pusing.

MIRUDA (SELESAI)Onde histórias criam vida. Descubra agora