Bab 31

629 81 4
                                    


Dua guru besar padepokan Galung Asri --Resi Bimaka dan Resi Gesang-- sesekali saling pandang. Mereka duduk sejajar di atas lantai beralaskan kain segi empat tipis berwarna merah. Sementara di sisi kiri-kanan mereka, saling berhadapan cantrik andalan masing-masing. Witantra dan Saswira di sisi kiri Resi Gesang, sementara Sumitra dan Andaru di sisi kanan Resi Bimaka.

Perhatian mereka terpusat pada sosok yang tengah menikmati hangatnya wedang maya dengan madu sebagai pemanisnya. Posisinya yang menghadap para guru memungkinkannya untuk bisa mengamati satu per satu wajah yang kini memperhatikannya. Tapi sosok itu bukan sembarang tamu. Terbukti dengan adanya para prajurit yang berjaga di depan pintu pendapa dan gapura padepokan. Sebuah suara khas orang baru minum dengan puas terdengar lembut.

"Galung Asri memang sangat hebat. Bukan hanya terkenal akan ajaran dan kedigdayaannya tapi juga memahami apa yang yang harus dilakukan untuk meladeni tamu biasa seperti saya. Saya rasa, saya tidak bisa menjumpai minuman seenak ini di kedaton."

"Bhre Aruna terlalu memuji. Bhre Aruna adalah tamu istimewa di sini, jadi sudah selayaknya kami memberikan hal yang istimewa pula. Lagi pula, minuman itu hanyalah minuman biasa, tentu tidak sebanding dengan minuman-minuman khusus para pamong praja."

Raka Gangsar tertawa pendek.
"Saya pikir tidak. Ini memang enak. Madu yang dipakai pastilah madu hutan murni. Apakah Galung Asri mempunyai tukang masak khusus untuk mengolahnya?"

Resi Bimaka tersenyum tipis, lalu kembali berujar,
"Benar, Bhre Aruna. Kami memang mempunyai pelayan khusus untuk mengolah minuman tersebut."

Raka Gangsar manggut-manggut.
"Ngomong-ngomong, kedatangan saya kemari adalah untuk menyampaikan sesuatu."

Para guru saling pandang sejenak. Pun para cantrik mereka yang memang selalu diikutsertakan dalam menjamu tamu. Akhirnya Raka Gangsar mengutarakan juga maksud kedatangannya ke Galung Asri.

"Apakah hal tersebut, Bhre Aruna?" Kali ini Resi Gesang yang mengambil pertanyaan.

"Ini tentang Bayanaka, para guru sekalian."

Para guru masih mengukir wajah tenang mereka, sementara Witantra dan Saswira hanya menghela napas pelan.

"Jikalau memang ada yang bisa kami bantu, kami akan melakukannya, Bhre Aruna. Bagaimanapun juga, Galung Asri adalah bagian dari Haningan."

"Ya, memang, Resi Gesang. Tapi saya cukup mengerti bahwa hubungan Galung Asri dengan Bayanaka sangat dekat. Cukup lama ia berguru di sini, bahkan berhasil mewarisi pedang Nagasangkar. Terlebih, ia juga mampu menciptakan ilmunya sendiri, Cakra Dewa," Raka Gangsar memberi jeda sejenak. Para guru dan cantrik masih mendengarkan dengan saksama, "adalah hal yang sulit untuk mengadili orang yang pernah dekat dengan kita. Bahkan tudak sedikit orang-orang melepas kesalahan itu atas dasar rasa persahabatan, keluarga, dan ikatan yang lain. Tapi, saya yakin bahwa para guru di Galung Asri tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut. Bukan begitu, para guru?" sambungnya.

Ada desiran aneh di benak Witantra dan Saswira setelah mendengar ucapan Raka Gangsar. Seolah mereka tengah tertangkap basah hingga itu sedikit merubah raut wajah kedua cantrik tersebut.

Berbeda dengan Witantra dan Saswira, Sumitra dan Andaru juga merasakan sesuatu yang ganjil dari pernyataan Raka Gangsar yang menurut mereka menyinggung para guru. Namun, para cantrik itu telah dididik sedemikian rupa untuk tetap menjaga perilaku sopan santun, apalagi dihadapan mereka itu adalah seorang Paduka Bathara, junjungan mereka.

"Tentu, Bhre Aruna. Kami tidak akan tebang pilih terhadap murid-murid kami. Padepokan kami adalah padepokan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt