Bab 53

435 91 16
                                    


"Apa yang Tuan Guru lakukan pada Nastiti?" seruan Nawala sama sekali tidak digubris sesepuh di sana, yang masih menggenggam kedua tangan Nastiti, walau si gadis meronta dan meraung kesakitan.

Sementara itu, tiga sesepuh lainnya mulai berjalan ke arah Nastiti dengan menggumamkan sesuatu, membuat gadis itu semakin menjerit pilu. Nawala pun tidak berani menyerang para brahmana yang mengepungnya. Sebagai kesatria, dia tidak mungkin melawan para brahmana yang sama sekali tanpa senjata. Mereka bahkan hanya melingkari Nawala dan menahan perlawanan hampa pemuda tersebut dengan mengandalkan tubuh tegap mereka.

~~

Nastiti tidak tahu apa yang tengah melandanya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, panas, sakit dan perih bersamaan. Ketika dirasa pegangan sang brahmana terlepas, ia tidak bisa pergi begitu saja. Tubuh mungilnya ambruk ke tanah. Terlentanglah dengan cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Belum juga ia merasakan panasnya, tiba-tiba saja sengatan-sengatan itu menyerang. Entah apa yang dilakukan para brahmana itu, tetapi Nastiti sudah tidak tahan lagi akan sakitnya. Teriakannya bahkan tidak lagi mengeluarkan suara. Airmata dan ucapan meminta ampun itu nyatanya tidak berguna. Sampai akhirnya, Nastiti benar-benar kehilangan kesadaran.

~~

Nawala mengutuk dalam hati. Dilihatnya Nastiti tengah terkapar, berguling-gulingan di tanah. Cahaya keunguan memancar dari tangan kanannya. Bibir mungil si gadis yang berkali-kali mengucap ampun dan rasa sakit begitu pilu terdengar, tetapi dia tidak bisa melakukan apapun. Nawala juga tidak mengerti apa yang dilakukan para sesepuh brahmana. Mereka hanya mengerumuni gadis itu dengan menggumamkan sesuatu, mungkin semacam doa atau mantra. Tetapi, mengapa Nastiti sampai sedemikian tersiksa?

Ketika para sesepuh brahmana mengeluarkan sesuatu dari lipatan pakaian yang ternyata semacam tali sepanjang tiga hasta, raungan Nastiti memekakkan telinga. Yang demikian membuat Nawala menjadi tidak tahan lagi. Terpaksa ia menyerang para brahmana muda yang mengepungnya.
Seketika kepungan itu buyar. Segera Nawala menyongsong Nastiti, menahan serangan tali yang mencambuk-cambuk tubuh gadis itu.

"Para guru sekalian, apakah yang telah para guru lakukan? Apakah kesalahan kawan saya sampai harus disiksa seperti ini?" Sedikit meninggi nada bicara Nawala. Ada perasaan gusar luar biasa melihat Nastiti terkapar tidak berdaya dengan bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Bahkan rintihan gadis itu terdengar menyayat hati. Kian memanaskan benaknya.

"Ada apa ini?!"

Seruan seseorang menghentikan sang sesepuh brahmana untuk menjelaskan. Tampaklah Yudha Erlangga dengan Saswira yang melempar segala barang bawaan lalu berniat bergabung dengan Nawala. Namun, para brahmana muda menghalangi.

"Ada apa ini? Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi pada Nastiti?"

Nawala tidak menyahut pertanyaan Yudha Erlangga. Tatapannya menajam kepada para sesepuh brahmana, sedang tubuhnya terduduk dengan satu lutut untuk menumpu, tangan kanannya terangkat setinggi kepala dan sisanya ke belakang seolah melindungi Nastiti yang tidak lagi terdengar rintihannya.

"Minggirlah, Anakku. Apa yang kami lakukan adalah demi kebaikanmu juga."

"Kebaikan apa yang didapat dengan menyiksa orang lain? Bahkan tidak ada satu ajaranpun yang menganjurkan penyiksaan."

Tampak para sesepuh memasang raut prihatin. Lalu, salah satunya pun membalas,
"Anakku, dengarlah. Kami melakukan ini karena ada alasannya. Ada dasarnya dan jika engkau mengetahui, maka engkaupun akan membiarkan kami melakukannya."

"Maaf, Tuan Guru, tetapi apapun alasannya, saya tidak akan membiarkan Tuan Guru menyakiti Nastiti lebih dari ini."

"Anakku, ketahuilah, bahwa kawanmu ini tidak seperti yang kalian lihat. Dia bukanlah dari bangsa kita."

MIRUDA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang