Bab 4

1K 131 12
                                    


Patih Sanjaya. Sosok lelaki paruh baya dengan wajah tegas dan terkesan tidak bersahabat itu menatap tajam tiga manusia di depannya. Anggara, Bayanaka, dan Mayasari menunduk dalam. Seolah mereka baru saja melakukan kesalahan besar. Ya, mereka baru saja melakukan kesalahan tapi tidak terlalu seberapa, setidaknya begitulah menurut tiga sahabat yang kini duduk bersimpuh di bale kepatihan. Namun, pemikiran mereka tentu tidak sama dengan sang Patih.

"Mayasari, putriku." Sang Patih membuka suara pertamanya.

"Kula*, Rama,"suara lembut Mayasari menyahut.

"Apa yang Rama lihat dan dengar di taman sari tadi, adalah sebuah kesalahan besar."

Bayanaka melirik Mayasari yang berada di samping kirinya. Bisa dilihatnya putri sang Patih itu menelan ludah.

"Jika Paduka Bathara sampai tahu kau memanggil Gusti Raden seperti itu, kau bisa dihukum."

Mayasari mendengarkan wejangan Ramanya dengan seksama.

"Sekarang, minta maaflah pada Gusti Raden atas kelancanganmu."

"Sendhika dhawuh*, Rama."

Mayasari memutar tubuh rampingnya sampai menghadap Bayanaka. Tetap sambil menunduk dengan pandangan menatap lantai kayu jati dan kedua tangan menyatu di depan dahi.

"Hamba, Mayasari, meminta maaf atas kelancangan hamba pada Gusti Raden. Dan hamba berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi."

Bayanaka sedikit menghadapkan tubuhnya pada Mayasari lalu tangan kanannya terangkat setinggi dada, pertanda sang Gusti Raden menerima permohonan maaf Mayasari.

"Sekarang kembalilah ke kamarmu. Besok akan kupanggil Guru Lokahita untuk mengajarimu kembali tentang tata krama kedaton."

"Sendhika dhawuh, Rama."

Mayasari menunduk hormat lalu berjalan mundur sambil tetap berjongkok. Baru ketika jaraknya sekitar lima langkah dari sang Rama, putri pemilik lesung pipi itu berdiri dan meninggalkan bale.

Hening lagi. Bayanaka sangat yakin jika sang Patih menatapnya tajam.

"Anggara, Putraku."

"Kula, Rama." Kini suara tegas milik Anggara yang memenuhi bale.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

"Sendhika dhawuh, Rama."

Anggara pun melakukan permohonan maaf seperti yang adiknya lakukan tadi. Tapi, sang Patih tak serta merta menyuruh putranya itu untuk meninggalkan bale, beliau justru langsung mengalihkan perhatiannya pada sang Gusti Raden.

"Masa kecil memang menyenangkan, Gusti Raden."

Bayanaka menelan ludahnya pelan. Gilirannya tiba.

"Tapi, ada kalanya kita hanya harus mengenangnya dan menceritakannya pada anak-cucu kita kelak. Sebagaimana yang hamba dan Paduka Bathara tahu, Gusti Raden sudahlah beranjak dewasa. Hamba rasa tidak pantas lagi untuk bermain-main seperti tadi."

"Saya mengerti, Paman Patih. Saya mohon maaf."

Patih Sanjaya mengangguk kecil.

"Sekali lagi, hamba mohon maaf atas kelancangan putra-putri hamba, Gusti Raden. Dan jika boleh hamba mengingatkan, malam nanti Paduka Bathara dan Prameswari akan berangkat ke Bhumi Malwapati untuk persetujuan mangkat sekaligus pengabsahan posisi Gusti Raden sebagai penerus nagara Haningan. Jadi hamba sarankan, Gusti Raden mempersiapkan diri."

"Sendhika dhawuh, Paman Patih. Kalau begitu, saya undur diri untuk menemui ayahanda dan ibunda."

Patih Sanjaya mengangguk lalu memberikan ijin untuk Bayanaka meninggalkan kedaton kepatihannya.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now