Bab 45

515 99 14
                                    

Pagi itu tampak tidak biasa meskipun dia menjalankan kegiatan hariannya. Selesai memadamkan api dengan siraman tanah, ia meletakkan dua ekor kelinci siap makan di atas alas daun pisang. Menggunakan sebuah belati yang dipinjamkan oleh Yudha Erlangga, mulailah ia memotong-motong daging hewan pemakan dedaunan tersebut.

Yudha Erlangga dan Jatmika telah berjasa mencari makanan pagi ini. Tetapi, orang-orang berpakaian hitam-hitam telah tidak tampak. Begitupun Nawala. Hal tersebutlah yang membuat Nastiti merasa ada yang berbeda. Terlebih, sedari tadi Yudha Erlangga hanya bercakap-cakap dengan Jatmika dan isi pembicaraannya hanya seputar kedaton, Malwapati, Raka Gangsar dan hal-hal lain yang menurutnya menjemukan. Yang demikian membuatnya sungkan karena merasa sebagai orang luar.

"Silakan, Kakang." Nastiti menyodorkan makanan yang telah siap itu kepada Yudha Erlangga dan Jatmika.

"Kau juga segera makanlah," tutur Yudha yang hanya ditanggapi anggukan mantap Nastiti.

"Di mana orang-orang bercadar semalam? Apa mereka masih beristirahat?"

"Oh, para telik sandi maksudmu? Mereka mengawasi daerah sekitar."

"Tapi, daging ini akan sangat keras jika terlanjur dingin nanti."

"Kalau begitu kau habiskan saja, Nasti. Mereka biasanya mencari makanan sendiri," terang Yudha Erlangga, lalu meneguk air dari batok kelapa sebelum menikmati daging kelincinya.

Nastiti mengangguk paham. "Lalu di mana Nawala?"

Yudha Erlangga menatapnya sekilas lalu beralih kepada Jatmika yang hanya menunduk. "Aku rasa dia masih ingin menenangkan diri. Jangan khawatir, Nasti, dia pasti kembali nanti. Lagipula ada Kakang Damar di sana."

Mendapat jawaban seperti itu, menimbulkan perasaan ganjil pada Nastiti. Dia ingin menyangkal bahwa ia khawatir, tetapi tentu saja ia kepikiran. Orang yang marah biasanya mudah lapar, contohnya Wendari. Tetapi, gadis itupun sadar bahwa situasi saat ini tidak memungkinkan, jadi ia abaikan rasa pedulinya lalu berniat menuju sungai.

"Kalau begitu, aku akan ke sungai dulu, Kakang," pamit Nastiti, "kalau boleh, aku ingin meminta pakaian ganti, pakaian ini sudah sangat kotor," tambahnya dengan malu-malu.

"Ambil saja di buntalan, yang mana saja yang kau suka."

Segera Nastiti mengambil satu pasang pakaian, memotong bagian bawah celananya agar tidak kepanjangan lalu segera menuju sungai. Tak lupa ia bungkus dua potong daging kelinci untuk bekalnya di sungai nanti.

Ketika telah sampai di sungai yang ternyata letaknya cukup jauh dari hunian, segera ia menunaikan kegiatannya, membersihkan diri, mencuci, dan makan. Setelahnya, ia hanya duduk santai di bawah pohon turi yang masih muda sembari menunggu pakaiannya kering.

Menoleh ia kala mendengar sesuatu dari tempatnya duduk. Seekor klarap yang baru saja terbang dan menempel di batang pohon turi sedang memamerkan 'jakunnya' yang berwarna kuning terang dan sangat mencolok, begitu berbanding terbalik dengan warna tubuh hewan tersebut yang coklat kehitaman.

Namun, yang demikian menjadi hiburan bagi Nastiti. Gadis itu berniat mendekati si klarap jantan, jika dilihat dari warna kantong dagunya tadi, mungkin hendak menangkapnya sampai suara burung gagak menghentikan gelagatnya.

Dengan ragu, mulai dicarinya sumber suara. Dan kedua netranya menangkap bayangan seekor burung melintas di atasnya. Diikutinya burung berwarna hitam pekat tersebut yang kemudian hinggap di salah satu dahan pohon yang rendah.

"Bhargawala," gumamnya lirih. Lalu dihampirinya si gagak yang menukik turun, memancarkan cahaya merah keemasan ketika sepasang cakarnya hampir menyentuh tanah lalu menyarulah ia menjadi sosok manusia.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ