Bab 7

945 115 4
                                    


Dua ratus lima puluh tahun tahun yang lalu,

"Bhargawala, kemarilah!"

Seorang pria dengan tubuh tinggi tegap, menyuruh Bhargawala muda mendekat. Menghampiri sosok wanita berkulit kuning langsat dan sedikit lebih pendek dari wanita kebanyakan, berambut hitam pekat sedikit bergelombang, bermata bulat indah. Inikah wanita dari bangsa manusia itu? Bhargawala muda meneliti wanita tersebut. Perutnya membuncit. Mungkin sakit atau... hamil?

"Kanda," suara lembut wanita itu membuat sosok lelaki tegap tadi memegang perut buncitnya. Lelaki itu tersenyum.

"Tidak apa-apa, Dinda. Bhargawala, bersediakah kau menyentuh calon jabang bayi ini?"

Alis Bhargawala muda bertaut. Menyentuh manusia? Dia tidak pernah melakukannya. Lagi pula, bukankah itu dilarang?

"Tidak apa-apa, Bhargawala, aku mengijinkanmu. Sentuhlah."

Bhargawala menatap lelaki itu sebentar lalu perlahan, dengan ragu, dia mendekat dan disentuhlah perut wanita itu.

Nyut.

Bhargawala tersentak mundur selangkah. Keningnya mengkerut. Ada pergerakan dalam perut itu ketika dia menyentuhnya tadi. Dan sepertinya, lelaki tegap itu tahu karena saat ini dia tersenyum lebar.

"Tidak apa-apa, Bhargawala. Itu hanya pergerakan calon jabang bayi di dalam perut. Itu hampir sama dengan calon adhimu. Hanya saja, calon jabang bayi ini ada di dalam perut wanita. Tumbuh dan berkembang di sana."

Bhargawala muda mulai mengerti. Calon bayi dari bangsa manusia tumbuh di perut sementara di bangsa mereka tumbuh di dalam cangkang.

Bhargawala muda menatap perut buncit itu agak lama lalu, seperti tersihir, disentuhnya lagi si perut. Jemarinya mulai merasakan pergerakan itu lagi. Lembut, halus, sedikit menggelitik dan... ah, Bhargawala muda tidak tahu lagi menyebutnya apa. Dia bahkan tidak tahu apakah cangkang calon adiknya akan bergerak juga jika disentuh.

Bhargawala muda seolah merasa si jabang bayi mengajaknya berbicara. Lalu, tanpa disadari, diletakkan telinga lancipnya ke perut.
Si wanita dan lelaki saling tatap, lalu sama-sama tersenyum simpul.

"Dia... perempuan."

Kalimat pertama yang diucapkan Bhargawala muda membuat wajah si wanita berseri.

"Benar, kan Kanda. Seperti yang kubilang tempo hari, anak kita pasti perempuan."

Si lelaki yang diajak bicara hanya mengangguk pelan sembari tersenyum.

"Bhargawala, mari kita kembali. Tapi, paman minta, tolong rahasiakan ini." Lelaki itu mengusap kening Bhargawala muda.
Bhargawala muda mengangguk.

Setelah si lelaki berpamitan pada wanita hamil itu, mereka melangkah pergi . Namun, sebelum benar-benar menghilang, Bhargawala menyempatkan diri untuk menolehkan kepalanya, melihat sekali lagi si wanita yang telah membuat pamannya melanggar peraturan bangsanya. Wanita itu tersenyum. Senyum manis yang memikat, tapi Bhargawala muda enggan membalas.

**

Malam tanpa bulan. Hujan lebat seolah mengguyur bumi tanpa ampun. Angin menggoyangkan pohon-pohon tinggi yang terlihat angkuh. Kilat dan petir berlomba menjadi penguasa langit.

Malam itu, seorang jabang bayi lahir. Seorang perempuan. Cantik dan gemuk. Sang ibu menangis. Tangis penuh arti. Tangis bahagia, karena putrinya lahir ke dunia dengan selamat, tanpa cacat. Tapi, di saat yang sama mereka juga harus berpisah.

Tidak berapa lama, beberapa sosok berwujud manusia tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumah si wanita. Wanita itu menatap putrinya yang sedang menyusu, perlahan dilepasnya sang putri, diletakkannya di dipan. Lalu wanita itu menghampiri tiga sosok misterius tersebut. Dengan senyuman kecut, ditatapnya tanpa rasa takut salah satu dari mereka yang kini di tangan kanannya terhunus tiga benda lancip, seperti cakar burung yang besar dan panjang.

MIRUDA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang