Bab 67

523 92 35
                                    

...

...

Wintang tulya
[Bintang-bintangnya ]

ng kusuma
[adalah bunga-bunga]

ya sumawur,
[yang tersebar,]

...

...

[Cuplikan teks Kakawin Ramayana--Bhramara Wilasita]

Mayasari duduk di atas tempat duduk kebesaran tanpa sandaran punggung, terlapisi lembaran kain berwarna merah mengilap yang tampak halus dan tebal. Pandangannya mengarah ke depan, tetapi tidak ada sinar perhatian darinya kepada seorang penembang. Nyatanya, hiburan yang khusus diperuntukkan baginya itu tidak bisa melenyapkan kegundahan hati.

Tiada senyum ataupun cahaya rona yang terpancar dari wajah jelitanya. Semakin hari semakin murung saja. Kiranya, itulah yang dirasakan dua dayang gawan, Dayang Sum dan Dayang Sri. Merekalah yang lebih mengerti keadaan junjungannya.

Ketika Mayasari mengangkat tangan kanannya sejajar bahu, penembang itu menghentikan kegiatannya, melakukan laku dhodhok*, kemudian ditinggalkan jua sang Prameswari bersama dua dayangnya yang duduk bersimpuh di sisi kiri-kanan sang junjungan.
[*berjalan dengan duduk, biasanya dilakukan ketika menghadap Raja.]

Cukup lama Mayasari menatap kosong pada serambi bale keputren, yang berdekatan dengan taman sari. Jiwanya tengah mengelana entah ke mana. Yang demikian membuat dua dayangnya semakin gelisah. Bahkan seekor burung pipit yang bertengger di dahan sebuah pohon pendek itu menghentikan kicaunya.

"Ampun, Gusti," begitu ucap Dayang Sri untuk membuyarkan lamunan sang Prameswari, tapi nyatanya sang junjungan bergeming, sehingga membuatnya kembali mengaturkan suaranya.

"Ampun, Gusti, apakah Gusti Prameswari berkenan beristirahat sekarang?"

Desah perlahan diembuskan Mayasari. Dia bukannya tidak mendengar, namun terdapat pemikiran lain yang enggan pergi, menciptakan kegelisahan yang begitu mengusik.

"Apakah, kalian pernah pergi ke tepian laut?"

Hanya kebisuan yang didapat Mayasari dari kedua dayangnya. Dia memahami, mungkin mereka berdua tidak pernah pergi ke tempat yang menurutnya begitu berkesan tersebut.

"Di sana terdapat air yang begitu melimpah, banyak sekali. Bergulung-gulung dan menciptakan buih-buih. Tetapi, airnya begitu asin."

Lagi-lagi, dua dayangnya tidak menanggapi, namun Mayasari tidak berkeberatan akan hal tersebut. Sementara itu, baik Dayang Sri maupun Dayang Sum sama-sama tidak berani saling tatap, mereka masih menundukkan kepala, tetapi pada benak masing-masing terdapat banyak kebingungan.

"Aku pernah ke sana. Hanya sekali." Mayasari mengulum senyum. "Tempatnya begitu indah, membuatku ingin ke sana lagi."

Mata yang berkaca-kaca itu telah mengatakan semuanya. Betapa perempuan itu belum bisa melupakan perasaannya kepada sang pemilik hati.

Sebuah keterikatan rasa yang ia sadari membawa dosa. Bagaimana ia bisa tetap mencinta lelaki lain padahal telah bersuami? Selemah-lemahnya perempuan, harusnya lebih bisa menjaga kehormatan diri. Dia bahkan tidak tahu apakah lelaki yang dicintanya masih memiliki rasa yang sama.

Rasa pening tiba-tiba kembali menyerang, membuat Mayasari memejamkan mata rapat sembari memijat lembut pada keningnya.

"Gusti, sebaiknya Gusti beristirahat di dalam bilik."

Butuh waktu bagi Mayasari menuruti saran dari dayangnya. Perempuan itu mencoba meredam rasa mual yang sekeras mungkin ia tahan bersamaan dengan pening yang berangsur menghilang.

MIRUDA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang