Bab 34

619 87 6
                                    


Harusnya Nawala tahu, jika melihat perempuan yang sedang mandi adalah perbuatan rendah nan memalukan. Sejail apapun, ia tidak berniat melecehkan perempuan. Posisinya di kedaton mengharuskannya menjaga sikap dan tutur kata karena segala perbuatannya diperhatikan dan menjadi panutan.

Tetapi, Nawala hanya bisa tercengang ketika sosok perempuan telanjang itu menangkap basah dirinya yang entah bagaimana telah berdiri sempurna di atas bebatuan yang sebenarnya dijadikannya tempat bersembunyi. Lalu tanpa disadarinya pula, sebentuk serangan dari air mengarah padanya dan mengenai dirinya begitu saja tanpa mampu dielakkan.

Ketika kedua matanya terbuka, ia baru tahu bahwa dirinya sempat pingsan dan dia juga tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya sekarang.

"Hei! Apa-apaan ini? Kenapa aku diikat seperti ini?" tanyanya kepada seorang gadis yang berjongkok membelakanginya saat ini. Rupanya gadis itu tengah menyiapkan api unggun.

Wajar jika Nawala bertanya demikian. Kedua tangannya terikat ke belakang bersama dengan sepasang kakinya yang ditekuk ke belakang juga. Sungguh, posisi terikat yang menyiksa baginya.

"Hei, Nyisanak!"

Gadis itu berbalik. Terlihatlah sepasang mata yang memandang rendah dirinya. Nawala pun tahu jika gadis itulah yang melakukan perbuatan hina padanya, otaknya masih mengingat dengan jelas wajah gadis tersebut.

"Jangan berteriak seperti gadis perawan bertemu ular, Kisanak."

"Hei, Nyisanak. Jangan bicara sembarangan--

"Bicara sembarangan? Itu terdengar lebih baik daripada berbuat sembarangan, seperti mengintip gadis mandi misalnya."

Nawala sedikit terhenyak.
"Aku tidak mengintipmu mandi."

Dilihatnya gadis itu tertawa. Tawa yang mengejek. Dibenarkannya posisinya yang sedari tadi berjongkok. Gadis itu duduk dengan manis di atas tanah sekarang, menghadap Nawala yang meringkuk tidak berdaya.

"Dengar, Kisanak. Jangan menganggap saya gadis dungu. Apapun yang kau katakan, tetap tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa Kisanak mengintip saya mandi. Nah, sekarang saatnya Kisanak untuk menyesali perbuatan hina Kisanak tersebut."

Mencelos hati Nawala mendengar tuduhan padanya. Dipandangnya tajam gadis di depannya tersebut. Seumur hidup--paling tidak, selama ia menjadi Gusti Raden--tidak pernah ada orang lain yang menghinanya seperti ini, apalagi itu dilakukan oleh seorang gadis. Semua gadis yang ditemuinya selama ini selalu berperilaku santun dan lemah lembut, bertutur kata halus dan...

"Hei, Kisanak. Kenapa malah melamun? Apa Kisanak sedang berpikiran tidak senonoh?"

"Hei, Nyisanak, jaga bicaramu. Dari tadi Nyisanak menuduh saya ini-itu. Saya tegaskan sekali lagi, saya tidak mengintip Anda mandi. Saya sedang mencari air lalu tidak sengaja mendengar sesuatu yang mencurigakan, ketika saya memeriksanya, ternyata...

Kalimat Nawala terputus. Ingatannya kembali ketika dirinya berniat mencari air tetapi sebuah suara yang berkecipak membuatnya penasaran. Letak sumber air yang berada di hutan belantara membuatnya yakin bahwa itu bukan ulah manusia, apalagi matahari telah mulai berjalan ke barat.

Sempat terbesit cerita tentang bidadari yang turun ke bumi manusia untuk mandi. Tetapi, ketika ditengoknya si sumber suara, yang dilihatnya adalah sebuah pemandangan menakjubkan. Seseorang, yang masih belum jelas, tengah memainkan air sungai. Air-air itu mengikuti gerakan tangan si empunya seolah dikendalikan. Air itu berputar-putar, ke sana-ke mari, terkadang membentuk gerakan seperti mencambuk lalu berubah lagi menjadi semacam ular atau naga air yang cukup besar.

Begitu takjub Nawala akan kekuatan dahsyat si empu hingga tanpa sadar, kedua kakinya melangkah lebih dekat agar bisa melihatnya dengan jelas. Tentu saja Nawala penasaran dengan si empu pemilik kekuatan dahsyat tersebut, yang notabene masih diselimuti air yang bagai gelombang.
Dan rasa penasarannya menjadi jelas tatkala si empu tiba-tiba menghentikan jurusnya, mendongak ke atas hingga tatapan mereka bertemu.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora