Bab 41

506 89 11
                                    


Air besar, batu bersibak.

Peribahasa yang sesuai dengan kondisi para murid padepokan Galung Asri saat ini. Sebuah ikatan persaudaraan yang telah dibangun bertahun-tahun nyatanya harus tercerai-berai lantaran setitik penyakit hati.

Perkelahian itu awalnya hanya antara Sumitra dan Saswira. Witantra yang berniat meleraipun terpaksa turut andil ketika Sumitra tidak bisa lagi dikendalikan.

Tidak tega melihat rekannya yang seakan dikeroyok, Andaru dan dua saudaranya yang lainpun serta merta menceburkan diri dalam perkelahian antar murid satu padepokan tersebut. Hingga jadilah mereka semua bertarung demi kehendak masing-masing.

"Haruskah kita meneruskan perkelahian ini, Kakang Sumitra? Apa yang kita lakukan ini sia-sia. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Kita terlalu terbawa emosi. Ingat tujuan utama kita, Kakang. Kita sedang mengemban tugas," tutur Witantra ketika pertarungan mereka sempat terhenti.

"Kakang, apa yang dikatakan Kakang Witantra ada benarnya. Kita telah diberi tugas oleh para guru atas perintah Bhre Aruna. Apa jadinya jika kita malah bertengkar sendiri? Apa yang akan kita katakan nanti?"

Ucapan Andaru agaknya telah mempengaruhi pemikiran Sumitra, sehingga pemuda itu telah bersedia melepaskan kuda-kudanya. Sejenak ia termangu, memikirkan kembali apa yang telah terjadi. Wajahnya yang mengeras telah melunak.

Dipandanginya semua saudara seperguruannya. Andaru, Witantra, Saswira dan empat cantrik lain, pakaian mereka telah ternoda debu, wajah merekapun tidak luput dari pukulan-pukulan.

Sumitra menghela napas kemudian, sepertinya pemuda itu telah menyadari kesalahannya.

"Sialan! Susah payah aku mengadu domba mereka, sekarang malah ingin berdamai lagi." Gumaman Citragada yang sedari tadi hanya mengawasi sembari berleha-leha di rerimbunan tanaman tebu sama sekali tidak ditanggapi oleh pengawalnya.

Raut wajah cemaspun tercipta pada pemuda empat belas warsa tersebut. Jika para cantrik itu kembali bersatu, maka akan lebih sulit lagi memecah belah mereka. Apalagi, mereka semakin dekat dengan wilayah Gunung Kelud yang telah diperkirakan Bhre Aruna sebagai tempat persembunyian Bayanaka.

Ketika Citragada memikirkan hal-hal tersebut, sebuah serangan tiba-tiba saja membuyarkan pembicaraan antar murid Galung Asri. Serangan beruntun yang tidak terduga itu nyatanya telah mengagetkan segenap manusia di sana. Para murid Galung Asri berloncatan ke sana ke mari menghindari aji-aji misterius tersebut. Tetapi malang bagi salah seorang cantrik yang terlambat menghindar, serangan itu pun mengenainya sehingga menyebabkannya terlempar sampai menabrak sebuah pohon. Sejenak cantrik itu menggeliat sembari mengerang, lalu sebentar kemudian dia tidak bergerak lagi.

"Lanjar!" Saswira segera menghampiri rekannya yang tidak lagi bergerak.

Namun, ia tidak perlu lagi memeriksanya, sebab sebuah luka sayat yang dalam telah tercipta di dada cantrik bernama Lanjar tersebut. Seketika amarah Saswira memuncak.

"Keparat! Siapa yang melakukan tindakan biadab ini, hah? Jangan hanya bersembunyi seperti pengecut!"

Segenap murid Galung Asri merasakan amarah yang sama, tetapi mereka lebih memilih memusatkan kesiagaan. Ada aura tidak menyenangkan yang mereka rasakan. Benar saja. Sekonyong-konyong muncullah dua sosok manusia berpakaian putih-putih dari balik pepohonan. Meloncat mereka di hadapan para cantrik.

Witantra dan segenap saudara seperguruannya mengamati dengan saksama dua pendekar tersebut. Yang tampak lebih tua berpakaian serba putih, senada dengan warna rambutnya, sedang yang berperawakan lebih kecil dan tanpa rambut mengenakan pakaian serupa namun ikat pinggangnya lebih lebar dan berbatik kotak-kotak hitam-putih.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now