Bab 12

780 111 18
                                    


Anggara hanya saling tatap dengan seorang bocah yang kemungkinan hanya terpaut setahun-dua tahun darinya. Bocah yang sangat kurus dan terkesan dekil. Tapi, bukan itu yang membuat Anggara muda terus memperhatikan. Tatapan bocah itu berbeda. Tidak ada ketakutan atau gentar di dalamnya, namun tidak terkesan menantang. Mata elangnya sungguh menekan sekaligus menarik.

"Jadi, namamu Anggara? Aku Na- eh-maksudku Bayanaka. Paman Sanjaya bilang, aku boleh bermain denganmu. Jadi, kau biasa bermain apa?"
Suara cempreng bocah itu membuat alis Anggara muda saling bertaut. Dan apa dia bilang tadi? Bermain?

"Saya biasa menggunakan panah, Gusti Raden."

Kini giliran alis Bayanaka muda yang bertaut.
"Kau bermain dengan senjata? Apa itu boleh?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, ayo ajari aku bermain panah."

Bayanaka langsung meraih tangan Anggara muda tapi dua langkah kemudian bocah itu berhenti, menoleh pada Anggara di belakangnya dan bertanya,
"Ngomong-ngomong, di mana tempat bermain panah?"

Bayanaka muda memicingkan mata kirinya, berusaha membidik sasaran. Sekedipan mata kemudian, dilesatkan anak panahnya ke sebuah pohon yang telah diberi tanda. Namun sayang, anak panah itu jatuh sebelum sampai ke sasaran. Bayanaka muda berdecak. Ini sudah anak panah ke dua belas. Diliriknya pohon sasaran milik Anggara, puluhan anak panah menancap sempurna di batang pohon itu.

"Kangmas!" Seorang anak perempuan mendekati dua bocah lelaki.

Bayanaka muda menyipitkan kedua matanya, melihat bocah perempuan kecil yang berjalan cepat menghampiri.

"Kenapa kau ke sini, Diajeng Mayasari? Kembalilah! Bukankah harusnya kau belajar? Rama akan menghukummu jika kau ketahuan main," nasehat Anggara muda.

Bayanaka muda hanya menatap kakang-adhi itu bergantian.

"Aku sudah selesai, Kangmas Anggara. Siapa dia? Abdi baru?" Perkataan si gadis kecil bernama Mayasari spontan membuat Anggara muda maju lalu membisikkan sesuatu ke telinga adiknya.
Sekejap kemudian, bibir mungil Mayasari terbuka lalu menutup dengan cepat. Lekaslah dia menunduk hormat pada Bayanaka muda.

"Maafkan kelancangan hamba, Gusti Raden."

"Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja Bayanaka."

Bayanaka muda menangkupkan kedua tangan kecilnya di depan bibir seolah tidak ingin orang lain tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya,
"Hanya kita bertiga yang tahu."

Bayanaka muda cekikikan, diikuti Mayasari sehingga sepasang lesung pipinya terlihat. Sementara Anggara muda hanya memperlihatkan raut wajah--mencoba--maklum.

"Jadi, permainan apalagi yang kau lakukan, Anggara? Bermain panah membuatku bosan."

"Memangnya kau biasa bermain apa, Bayanaka?" tanya Mayasari

"Bagaimana kalau petak umpet?"

Anggara muda dan Mayasari kecil saling tatap tidak mengerti.

"Permainan apa itu?"

"Kau belum pernah bermain petak umpet?"

Mayasari kecil menggeleng. Sementara Bayanaka muda tersenyum lebar.

"Jadi, kita hanya harus bersembunyi dari lawan. Jika tertangkap, kita kalah. Jika bisa menghancurkan 'benteng' lawan, kita menang. Mudah, kan?"

"Sepertinya menarik." Mayasari kecil memandang kangmasnya yang hanya mengangguk-angguk pelan .

"Kalau begitu, mari kita bermain petak umpet!"

**

Perlahan, kedua mata Anggara terbuka. Dengan posisi duduk bersila, diamatinya keadaan sekitar. Enam prajuritnya masih berjaga secara bergantian sedangkan gadis pemilik panah itu terlihat sangat pulas setelah menghabiskan tiga buah jagung bakar pemberiannya tadi.

MIRUDA (SELESAI)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt