Bab 28

605 82 7
                                    


Kediaman Ki Guntur.

Halaman yang cukup luas dengan tiga pohon sukun masing-masing berjarak sekitar dua tombak, ditambah pepohonan kamboja aneka warna adalah ciri rumah orang tua Lembayung.

Sepekan sebelum acara perkawinan Lembayung dengan Abisaka telah banyak perewang* guna mempersiapkan kebutuhan menjelang hari pelaksanaan acara sakral tersebut. Semuanya terlihat sibuk dan penting.
[*Yang membantu]

Mulai dari menebang pohon hingga mengeringkannya agar bisa digunakan untuk keperluan memasak nanti. Ada pula yang merubah halaman belakang untuk dijadikan dapur dadakan sementara. Ibu Lembayung sendiri agaknya sibuk itung-itungan dengan pedagang rempah-rempah dan sayur.

Semuanya terlihat sibuk dengan bagiannya masing-masing tidak terkecuali Nastiti. Tugasnya paling menyenangkan baginya, luluran. Tapi luluran itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang calon pengantin, Lembayung.

"Jangan terlalu tebal, Nasti, nanti sulit dihilangkan."

Nastiti terkikik. Kedua tangannya kini berlumuran lulur berwarna kuning kunyit, tapi harum seperti bunga kamboja.

"Tidak apa-apa, Yunda, semakin tebal lulurnya, semakin cantik nanti saat duduk di kuwade*." [*Tempat duduk pengantin]

"Kau ini selalu saja menggodaku, Nasti."

Nastiti kembali tertawa. Kali ini kedua tangannya mengambil lulur kuning tersebut dari sebuah layah lalu mengoleskannya ke lengan kiri Lembayung yang belum diluluri.

"Hei, mengapa kau tiba-tiba diam, Nasti?"

"Ah, tidak Yunda. Aku sedang menikmati mata Yunda."

"Memangnya ada apa dengan mataku? Apa belekan?*" [*Belek; kotoran mata]

Nastiti spontan tertawa keras, hampir saja kedua tangannya yang berlumuran lulur ia gunakan untuk menutup mulutnya.

"Tidak, Yunda, bukan. Aku hanya menyukai warna mata Yunda. Itu sangat cantik."

"Memangnya kenapa dengan warna mataku?"

"Warnanya berbeda dengan milik orang-orang kebanyakan yang biasanya hitam pekat atau hitam kecoklatan, milik Yunda berwarna coklat terang. Itu sangat indah."

Lembayung tersipu dengan pujian Nastiti. Si Mboknya memang pernah mengatakan bahwa warna matanya adalah keturunan dari ayahnya. Bahkan Abisaka juga selalu memuji sepasang manik mata coklatnya.
Mendadak hati Lembayung berdebar, wajahnya terasa panas hanya karena mengingat lelaki yang beberapa hari lagi akan menjadi suaminya tersebut.

"Eh, mengapa pipi Yunda jadi memerah? Apa Yunda sakit?" 

"Ah, tidak, Nasti. Aku tidak sakit."

"Jika pipi Yunda merona tapi tidak sakit, berarti yunda sedang berpikir tentang Kang Abi. Iya, kan? Ayo, mengaku!"

"Nasti, sudah, ah!"

"Yunda pasti sudah kangen, iya, kan? Padahal baru dipingit beberapa hari."

"Nasti, bukan begitu. Lagi pula kenapa kau selalu menyebut nama Kang Abi? Jangan-jangan itu hanya alasanmu untuk menutupi rasa kangenmu pada Sapta."

"Ah, Yunda... kenapa malah menyebut Kang Sapta?"

"Nanti biar aku beritahukan pada Kang Abi agar kalian lekas menyusul kami duduk di kuwade."

Lembayung terkikik geli sementara Nastiti hanya menggerutu sebal.

.
.

"Apa! Apa kalian sudah gila! Bukankah kemarin kami telah memberikan upeti sesuai perjanjian?" Seorang pemuda dengan wajah menahan amarah memandang ganas pada seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Where stories live. Discover now