Bab 50

644 108 43
                                    


"S-saya---"

"Tolong, jangan berbohong. Aku tahu jika kau sedang menyembunyikan sesuatu. Sekali lagi, maaf jika pertanyaanku ini bersangkutan dengan kehidupan pribadimu. Tapi, aku perlu tahu agar aku bisa mempertanggungjawabkan peranku sebagai pemilik di sini. Aku tidak bisa membiarkan seseorang merasa tidak nyaman bekerja denganku," Anggara menghela napas sebentar, "semalam, ketika aku memeriksa keadaan, tanpa sengaja aku mendengar suara tangisan. Tangisan yang berasal dari bilik tempatmu beristirahat. Jika boleh tahu, mengapa kau menangis? Apakah ada sesuatu atau seseorang di sini yang membuatmu merasa terganggu?"

Lembayung tampak gelisah, itu terlihat dari jemarinya yang meremas jarit. Wajahnya pun semakin menunduk.
"Maaf, Raden. Saya hanya...," Lembayung mencoba mencari jawaban yang tepat, "rindu pada ayah dan ibu saya."

Jawaban itu tentu saja membuat Anggara menyadari sesuatu. Timbul sebuah perasaan bersalah atas gadis tersebut. Bagaimana tidak. Ketika Lembayung membantunya dengan membeberkan kejadian yang menimpanya tanpa ada yang disembunyikan, seketika itu pihak keamanan Hanimpura mencari keterangan di desa asal si gadis, Bulukuning.

Dan, sebuah kenyataan pahit harus diterima gadis itu manakala salah seorang prajurit membawa kabar bahwa tidak ada yang tersisa di keluarganya, termasuk lelaki yang akan menjadi suaminya. Si gadis sempat terpuruk kembali, hingga Anggara memutuskan untuk menampungnya di kediamannya, sampai si gadis merasa cukup siap untuk pulang.

Jawaban atas rasa penasarannya semalam membuatnya merasa bahwa mereka mempunyai rasa kehilangan yang sama. Meski dengan cara yang berbeda. Biyung Anggara, Wulandari, mengalami kunduran* setelah melahirkan adhinya. Sedang kematian ramanya sendiri masih menjadi tanda tanya walau bukti-bukti itu menunjuk pada seseorang.
Selang beberapa helaan napas kemudian, barulah Anggara kembali berkata,
"Kau... ingin kembali ke desamu?"

Sebuah pertanyaan yang langsung membuat wajah Lembayung mendongak meski tidak tahu di mana tepatnya sang tuan berada.
"Apakah Raden bersungguh-sungguh? Apakah itu berarti, keterangan yang Raden butuhkan dari saya sudah cukup?"

Anggara terdiam, bukannya ia tidak bisa menjawab. Namun, perhatian pemuda itu tertuju kepada sesuatu. Seakan-akan menyedot seluruh kesadarannya.
Sepasang manik mata berwarna cokelat yang sangat indah, tersorot sinar matahari sehingga warnanya menjadi semakin terang.

Oh, Anggara bahkan baru pertama kali melihat warna mata semenarik itu. Dan, bagaimana bisa ia tidak menyadarinya selama ini?

".... Raden?"

Terkesiap Anggara mendengarnya, sehingga ia pun sengaja mengubah duduknya, yang semula saling berhadapan dengan Lembayung, kini menghadap ke dinding kayu dapur, halaman, atau lainnya asal tidak lagi menatap netra indah tersebut.

"Jadi, apakah saya benar-benar bisa kembali ke desa?"

Menoleh sebentar Anggara lalu pikirannya secara cepat merangkai sebuah jawaban.
"Tentu, tapi tidak dalam waktu dekat. Ada kemungkinan Senapati Arpagati membutuhkan sesuatu yang terlupa darimu."

Lembayung kembali menunduk, tetapi rona kelegaan sedikit tampak pada wajahnya.

Anggara menghela napas dalam-dalam, pikirannya sempat terhenti tadi. Sungguh gila, tapi memang terjadi. Dengan ragu dipandanginya lagi wajah Lembayung. Seketika dirinya baru menyadari bahwa gadis itu memang manis, seperti yang pernah dikatakan Bi Darmi. Jangan tanya bagaimana Anggara sampai mendengar hal tersebut. Kebiasaan si pelayan yang ceplas-ceplos terkadang membuatnya mengetahui hal yang tidak perlu diketahui.

Sempat ditengoknya luntas dalam keranjang kecil hasil petikan Lembayung. Dan, Anggara merasa heran bercampur kagum karena daun-daun luntas itu terpetik sempurna, tidak ada daun yang tidak utuh. Seolah-olah Lembayung mampu memilihnya tanpa kesulitan padahal indra penglihatannya tidak bisa lagi diandalkan. Bahkan, tidak ada daun yang tercecer.

MIRUDA (SELESAI)Onde histórias criam vida. Descubra agora