Bab 16

799 88 12
                                    


Seekor tikus buluk terlihat keluar dari kepatihan. Kaki-kaki kecilnya berlari cepat melewati pinggiran dinding dan menerobos tanaman perdu, sesekali cicitannya membuat beberapa dayang menjerit padahal tampak wujud makhluk kecil itu pun tidak. Keluar dari kepatihan, si tikus buluk terus berlari ke barat hingga akhirnya tiba di kedaton Walingan.

Seorang wanita berpakaian serba merah darah terlihat mondar-mandir di pelataran belakang kedaton yang harusnya menjadi taman sari, namun semenjak kepergian Raden Mas Danendra, taman itu tidak pernah dijamah, lagi membuatnya terlihat singlu meski siang hari. Si tikus berlari menembus semak belukar, begitu keluar dari rerimbunannya, wujudnya telah berubah menjadi manusia dengan mata merah menyala.

"Hamba datang untuk melapor, Nyi."

Roro Geni, si wanita yang sedari tadi menunggu siluman tikus itu mendengkus kasar.

"Siluman bodoh! Kenapa lama sekali? Apa ada kucing yang hendak menangkapmu, hah?!"

"Ampun, Nyi. Hamba agak kesulitan ketika berada di kepatihan karena ada semacam rangin yang dipasang di sana, membuat hamba-

"Ah! Sudahlah! Simpan alasanmu yang tidak berguna itu. Sekarang katakan padaku, apa yang terjadi di kepatihan?"

**

Raka Gangsar hanya duduk sembari mengusap-usap janggutnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut kasar. Roro Geni di sampingnya, baru saja membawa keterangan mengejutkan. Dayang yang dulu pernah melayani mendiang Prameswari memberikan kabar yang bisa merusak semua rencananya.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan, Raka Gangsar?"

Raka Gangsar melirik wanita itu sekilas lalu tersenyum licik.

Jadi, Patih Sanjaya meminta perlindungan ke Galung Asri.

"Panggil para pendekar bayaran itu sekarang."

Roro Geni segera berangkat meski dalam hati menggerutu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengumpulkan para pendekar yang tinggal di sekitar Walingan.

Awalnya mereka mengira-ngira apa yang akan disampaikan oleh Raka Gangsar namun, begitu sang Raden Mas menjelaskan duduk perkaranya, seketika wajah para pendekar menjadi masam. Bahkan Nagapeti kini tidak karuan hatinya.

Bale itu dicekam keheningan. Penghuninya diliputi kecemasan tatkala sang Raden Mas mencium kelalaian mereka. Berkali-kali lelaki itu menghela napas. Ketukan telunjuk kanan pada singgasana peraknya seolah menghentak jantung tiap pendekar, kecuali si Putih, yang entah ada apa di pikirannya sekarang.

"Raden Mas--

"Kesalahan kalian adalah..."

Ki Andaka terpaksa menahan kalimatnya tatkala dipotong Raka Gangsar.

"Kalian terlalu menyepelekan lawan."

Ki Andaka dan Nagapeti tertunduk. Sementara Putih masih dengan mimik kosongnya. Raka Gangsar berdiri dari singgasananya, selangkah demi selangkah mendekati para pendekar yang masih duduk bersila dengan gelisah.

"Nagapeti, bukankah kau sendiri yang mengantar gulungan itu padaku? Kenapa dulu tidak kau ceritakan perihal pemuda yang membawanya?"

Kepala Nagapeti menoleh ke kiri-kanan, berusaha minta tolong rekan-rekannya, atau mungkin itu usahanya meredam rasa takut dan cemas. Bukan tidak mungkin lelaki di depannya itu akan melakukan sesuatu, mengingat sebilah keris masih terselip rapi di ikat pinggang sutra Raden Mas Walingan tersebut.

"Ampun, Raden Mas. Saya pikir, pemuda itu sudah mati. Lagi pula, selama ini belum ada yang mampu bertahan dari Tapak Ganda milik Putih. Di samping itu, belum tentu pemuda yang dimaksud Patih itu adalah pemuda yang sama dengan--

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now