Bab 40

546 85 13
                                    


Rowot baru menyadari, bahwa ia salah memilih lawan. Oh, tidak, mungkin ia salah memilih jalan pulang hingga akhirnya harus berhadapan dengan rombongan senopati tersebut.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Senopati Arpagati untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Satu persatu para bramacorah itu bertumbangan.

Sementara itu, Rowot masih berjuang mati-matian melawan Anggara. Pedang perak sang senopati muda yang mengkilat itu telah menghancurkan goloknya pada pertarungan awal hingga mereka harus adu fisik. Telah ia kerahkan jurus-jurus yang ia punya, bahkan aji pamungkasnya telah dikeluarkan, namun itu semua seakan tidak berarti bagi senopati muda itu. Tampaknya Rowot benar-benar kewalahan menghadapinya. Kemampuan Rowot jauh di bawah senopati muda tersebut.

Pukulan-pukulan mematikan mulai mengenai sasaran. Umpatan juga pekik kesakitan tidak pernah lepas dari mulut Rowot. Berkali-kali ia mencoba membalas serangan lawan, berkali itu pula ia malah terkena pukulan. Namun, pimpinan bramacorah itu tidak mengenal kata menyerah. Meski sekujur tubuhnya telah terluka, ia masih saja menyerang hingga pada akhirnya, Anggara mendaratkan sebuah serangan pada kepala si Rowot. Melompat ia ke udara ketika menghindari serangan, dijadikannya bahu Rowot sebagai pijakan lalu sebuah pukulan ia berikan tepat di ubun-ubun. Membuat si Rowot terdiam dengan kedua mata mendelik, ia bahkan tidak sempat untuk sekadar mengaduh. Mendadak keluar darah dari hidung, telinga dan sudut matanya, sekedipan mata kemudian tubuh besar Rowot ambruk, terbujur kaku. Pertarungan itupun berakhir singkat.

"Mereka bukan prajurit kita," ujar Senopati Arpagati sembari mendekati Anggara.

"Tapi, bagaimana bisa?"

"Ampun, Tuan Senopati, ada seorang gadis di dalam pedati." Salah seorang prajurit melapor setelah memeriksa pedati.

"Hanya seorang?" Senopati Arpagati bertanya.

"Benar, Tuan Senopati. Hamba tidak tahu ke mana gadis-gadis yang lain, tetapi hamba yakin tadi melihat lebih dari satu."

"Kalau begitu bawa gadis itu ke mari, mungkin dia bisa memberi kita jawaban."

"Ampun, Tuan Senopati. Hamba rasa itu belum bisa hamba laksanakan."

"Kenapa tidak?"

"Karena gadis itu tidak sadarkan diri, Tuan Senopati."

Saling pandang Senopati Arpagati dengan Anggara, hingga akhirnya senopati Hanimpura tersebut berkenan untuk memeriksa langsung kondisi si gadis di dalam pedati.

Sementara itu, Anggara mengamati-amati sekitar. Prajurit abal-abal yang tewas berjumlah delapan orang, menandakan dua lainnya berhasil melarikan diri. Namun, di pihaknya juga kehilangan salah satu prajurit.

Anggara mendekati mayat Rowot. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Berjongkok ia untuk memastikan. Sebuah cincin bermata batu akik kuning telur tersemat di jari telunjuk kanan. Anggara tahu arti batu akik itu. Batu akik berwarna kuning telur dengan tiga titik coklat di tengah. Merupakan tanda bahwa sang pemakai adalah anggota sebuah perkumpulan. Perkumpulan Ksatria Lelana yang telah dibabat Senopati Agung Diwangkara beserta seperangkat punggawa Malwapati lainnya beberapa tahun silam. Meskipun diyakini masih saja ada sisa-sisa dari mereka, tetapi selama ini tidak terdengar pergolakannya.

Hingga Anggara melihatnya lagi di sini. Dan tentu saja, ia semakin penasaran dengan orang Walingan yang disebut 'Tuan' oleh mereka.

"Senopati Anggara," panggil Senopati Arpagati, "sebaiknya kita bawa gadis itu ke sebuah desa untuk diobati."

"Apakah dia terluka?"

"Tidak. Tetapi, wajahnya terlihat pucat. Mungkin sakit."

"Tetapi, kita juga harus segera melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Kde žijí příběhy. Začni objevovat