Bab 22

651 75 8
                                    


Mayasari baru saja selesai membuatkan minuman hangat untuk kangmasnya, diserahkannya nampan berisi wedang jahe dengan kayu manis dan camilan berupa ketan putih yang ditaburi parutan kelapa kepada seorang dayang.

"Tolong antarkan ini ke bangsal Kangmas Anggara. Pastikan dia meminum wedang jahenya."

"Baik, Ndoro Putri."

Sepeninggal dayang tersebut, Mayasari kembali ke bangsalnya sendiri. Dirinya duduk di pinggiran ranjang sembari menatap lesu pada beberapa hadiah dari Raka Gangsar yang masih tertata rapi, pertanda dirinya belum mengetahui bentuk hadiah pemberian calon suaminya tersebut.

Mayasari mendesah. Pandangannya menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Hatinya resah tidak terkira. Rencana perkawinannya dengan Raka Gangsar telah ditetapkan, beberapa pekan setelah masa berkabungnya usai. Dan itu berarti Mayasari harus melupakan pujaan hatinya.

Oh, sebenarnya gadis itu telah berusaha mematikan rasa untuk Bhargawala semenjak kangmasnya dengan tegas menentang hubungan terlarangnya dengan siluman tersebut. Sejatinya, Mayasari telah berusaha menampik segala rasa yang disebut rindu. Tapi, Mayasari hanyalah seorang manusia yang tercipta sebagai seorang perempuan. Dan perempuan sangatlah rapuh akan hal-hal yang bersinggungan dengan perasaan. Andaikata Mayasari adalah tipe gadis pemberontak, mungkin dirinya sudah kabur sedari dulu. Sayangnya, Mayasari telah menjadi pengecut sekarang. Kehilangan sang Rama membuatnya tidak ingin melakukan tindakan yang akan menyulitkan posisi kangmasnya sebagai satu-satunya keluarga yang dipunya. Tapi betapa sulit untuk sang hati meredam rasa yang tudak tertahankan lagi. Karena semakin Mayasari mencoba menghindar, semakin rasa itu menghantui.

Hingga kini dia hanya bisa diam tanpa pemikiran yang jelas. Akan dibawa ke mana hatinya nanti? Apakah tetap ia simpan untuk lelaki yang bahkan ia tidak tahu apakah memiliki perasaan yang sama untuknya? Ataukah ia harus menyerahkannya pada lelaki yang sama sekali tidak ia hiraukan?
Sungguh, jika manusia bisa menutup hati layaknya menutup kitab, maka Mayasari akan melakukannya. Menutup hatinya, bukan untuk siapa-siapa.

Tanpa sadar, air mata itu meleleh. Setetes, dua tetes hingga akhirnya tidak terhitung. Menangislah putri jelita itu di bangsalnya yang sepi seorang diri. Mendadak dia merasa rindu pada Ramanya. Dan kalau boleh menghayal, dia ingin melihat sosok biyungnya dan menumpahkan segalanya di pangkuan beliau. Kedua tangannya saling meremas. Betapa putri itu merasa kehilangan dan kesepian.

Di saat hatinya sedang terpuruk itulah, samar-samar didengarnya sebuah suara. Suara yang tidak asing. Mayasari berusaha menahan isak tangisnya demi meyakinkan diri akan suara tersebut. Dipaksanya tubuhnya untuk bangkit dan melongok keluar jendela. Didengarnya lebih seksama. Dan suara itu terdengar lagi. Sangat jelas. Koakan gagak. Mayasari bergetar hatinya. Segera saja ia menghambur keluar. Berlari-lari kecil bak bocah yang menyambut ibunya pulang dari pasar dan mengharap membawa jajan, tudak menghiraukan dayang-dayang dan para prajurit yang menatapnya heran.

Mayasari memasuki taman sari dan terus berlari kecil, mengikuti sumber suara yang entah didengar penghuni area kepatihan atau tidak karena nyatanya mereka sama sekali tifak terusik oleh suara parau burung gagak yang seolah menggema. Tiba di area kebun hutan jati, Mayasari memperlambat langkahnya. Baru ia rasakan napasnya tersengal.

Suara koakan gagak itu menghilang begitu ia sampai di sana. Didongaknya langit. Tidak ada tanda-tanda adanya keberadaan burung cerdas yang disimbolkan dekat dengan pertanda buruk tersebut. Mayasari mengusap keringat di keningnya. Kepalanya tertunduk lemah. Perasaannya membawanya pada hayalan-hayalan semu. Mayasari bahkan bingung apakah harus menertawakan tingkahnya atau menangisi kemirisannya tersebut. Dia berpikir bisa gila jika terus seperti ini. Di tengah kekalutannya, tiba-tiba sebuah suara manusia mengagetkannya.

MIRUDA (SELESAI)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu