Bab 101

259 55 41
                                    

.
.

Ketika pasukan Tumapel datang, Nawala masih bergelut dengan Raka Gangsar. Pedang-pedang pusaka mereka berdentingan, menciptakan getar yang meresahkan benak. Kecepatan dan ketangkasan mereka menciptakan kengerian. Ada kalanya, Nawala tampak berhasil membuat lawannya tersudut, tetapi sebentar saja Raka Gangsar mampu berkelit dan memberikan serangan balasan. Pedang mereka pun seolah-olah ingin segera menusukkan diri ke bagian tubuh mana saja yang lalai dijaga.

Dalam pergulatan satu lawan satu tersebut, memanglah Raka Gangsar lebih unggul dari Nawala, terlebih secara kekuatan fisik. Sekali waktu, lelaki itu bahkan mampu membuat lawannya kepayahan. Akan tetapi, bakat Nawala tidak bisa diremehkan. Pemuda itu sangat gesit. Walau tampak keteteran, ia selalu mampu melindungi tiap jengkal tubuhnya dari goresan mematikan Nagasukma.

Yang sebenarnya, sesuatu yang mengusik hati sejak mengiring putra angkat Danendra mulai menguasai Nawala.
Setiap ia menatap Raka Gangsar, setiap kali itu pula kilasan sang orang tua berkelebatan. Adalah dusta jika ia tidak menyimpan amarah dan dendam. Maka, ketika kesalnya memuncak, ia seakan-akan tidak bisa menahan diri lagi. Benaknya menginginkan perkelahian itu segera berakhir. Ia ingin Raka Gangsar bertekuk lutut di hadapan candi tempat pendarmaan Aditya Seta dan Ratih Padmasari.

Ketika Nawala membalas serangan, Raka Gangsar melompat untuk menghindar. Tubuhnya melenting di udara untuk melewati lawan. Demikian Nawala, ia tidak mau menunggu. Segera saja pemuda itu berbalik. Ujung pedangnya nyaris menggores bagian dada yang dilawannya. Beruntung Raka Gangsar dengan tangkas mundur. Serangan berikutnya dilakukan Nawala dengan lebih bernafsu. Pemuda itu seolah-olah telah gelap mata. Amarah rupanya mengusai hati dan pikiran.

Berbeda dengan Raka Gangsar yang masih cukup tenang. Sebenarnya ia terkejut dengan perubahan gerakan Nawala. Lawannya tersebut lebih beringas. Yang demikian bukannya membuat nyalinya ciut. Putra angkat Danendra itu malah lebih bersemangat. Pada pergulatan selanjutnya, dua-duanya telah mengeluarkan tataran jurus yang lebih tinggi.

Pedang-pedang mereka acapkali menimbulkan desir panas di sekitar. Sabetan yang mengenai benda lain, menciptakan ledakan. Dengan pergulatan yang mampu membuat kuduk meremang dan takut, tidak ada yang bernyali mendekat.

"Keluarkan semua yang kaupunya, Bayanaka!" seru Raka Gangsar di tengah pertemuan pedang pusaka.

Nawala sendiri tidak menggubris. Dirinya semakin tersulut dengan gelak lawan yang seolah-olah mengejeknya. Pada serangan berikut, ia menambah tingkatan jurus. Raka Gangsar yang tampaknya belum siap, harus menerima pukulan di perut dan dagu. Lelaki itu terpelanting. Beruntung, ia memiliki naluri yang tajam sehingga kala pedang lawannya mendekat, tubuhnya segera digulingkan ke samping.

Akan tetapi, Nawala tidak mau bermain-main. Pemuda itu agaknya sungguh-sungguh ingin melenyapkan sosok yang dulu membuatnya segan tersebut. Terus saja pedangnya mengincar Raka Gangsar yang masih bertahan di tanah. Ketika pedang mereka kembali beradu untuk ke sekian kali, desiran halus dari sesuatu yang besar dirasakan Nawala. Segera saja, pemuda itu melompat mundur hingga beberapa kali.

Tatapannya menajam kepada Putih yang seakan-akan melindungi Raka Gangsar.

Sebentar saja Nawala mencari keberadaan Patria yang ia pikir mampu menghadapi pendekar perempuan tersebut. Kenyataannya, jauh di sana, ia melihat tubuh pengawal Danendra itu terkapar, sesekali masih terlihat bergerak-gerak. Pemuda itu ingin memeriksa keadaan Patria, tetapi ia tahu waktunya tidaklah tepat. Selain itu, ia tentulah akan kerepotan menghadapi lawannya yang telah bertambah.

Baru saja ia selesai menimbang-nimbang, Putih maju menyongsong. Kali ini, Nawala menarik mundur pedangnya. Ia hadapi pendekar itu dengan sebelah tangan yang kosong.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang