Bab 92

324 67 16
                                    

.
.

Bara api dalam paron* itu berwarna-warni, perpaduan jingga, merah, kuning, dan terkadang seperti merah jambu silih berganti seiring keluar-masuknya bakal senjata. Panasnya tidak terkira, tetapi nyatanya para lelaki itu seakan tidak merasa. Setidaknya ada tiga panjak* yang bekerja sama dalam kegiatan menempa besi. Seorang panjak bertugas memegang sapit untuk menjepit batang besi. Calon senjata yang disapit itu berpendar-pendar baranya ketika dikeluarkan dari paron, setelahnya dua panjak lain segera memukul-mukul besi tersebut menggunakan palu besar secara bergantian. Kegiatan itu menimbulkan suara gaduh, tetapi berirama akibat pukulan palu yang dilakukan secara teratur tersebut.

Dalam besalen* sang juru gusali* yang cukup luas, Nastiti menilik setiap kegiatan di sana. Sang juru gusali memiliki belasan panjak dengan tugasnya masing-masing. Setiap dari mereka tidak ada yang tampak meloneng, semuanya bekerja, baik di dalam maupun di luar besalen. Nastiti sendiri tidak merasa risih kendati ruangan itu sangat gerah dan berisik.

"Mari, Nasti."

Ajakan Nawala membuat pandangan Nastiti teralih dari kegiatan beberapa panjak yang telah sampai pada pembuatan kodoan*. Ia ikuti langkah pemuda itu untuk keluar dari tempat sang juru gusali. Mereka memang kembali ke kediaman sang pandai besi untuk melihat perkembangan pembuatan senjata yang dipesan. Nawala harus menunggu sedikit lama untuk menunggu pedang yang dikehendakinya jadi, tetapi ia sudah bisa memiliki puluhan anak panah pesanannya. Selain itu, rupanya perkumpulan penjaga desa juga membutuhkan senjata, jadilah mereka pergi bersama Ki Paragak dan sang putra.

"Apa kita benar-benar akan berperang?" tanya Nastiti ketika mereka baru berjalan beberapa langkah.

Pertanyaan itu segera menyedot perhatian Nawala. Ia cermati si gadis yang menatap ke depan dengan raut wajah sendu.
"Aku hanya tidak mengerti kenapa kita harus berperang. Kenapa pihak yang terlibat tidak membicarakan permasalahan mereka secara baik-baik dan malah memilih kekerasan?" tambah Nastiti.

Nawala mengalihkan perhatian kepada Ki Paragak, sang putra, dan Jatmika yang menemani di belakang. Mereka tampak bercakap-cakap sehingga tidak mendengar ucapan Nastiti tadi. Kemudian ia menghentikan langkah lalu menghampiri rekan-rekannya tersebut. Ia sampaikan maksud untuk mampir ke suatu tempat. Setelah selesai, ia kembali kepada Nastiti.

"Marilah, kita berbincang sebentar," ajak Nawala. 

"Ke mana?"

"Ke lahan kosong tempat kita latihan kemarin."

Nastiti tidak bertanya lagi. Ia ikuti si pemuda yang telah melangkah. Tidak ada panorama indah di sana. Hanya deretan pepohonan yang masih muda buahnya, juga tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan dan tanaman perdu. Nawala melayangkan pandangan. Siang itu terik, maka ia memutuskan untuk berteduh di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Nastiti pun menurut saja ke mana pemuda itu menuntunnya sementara Jatmika mengerti jika junjungannya ingin bicara berdua dengan si gadis, ia tetap berjaga di tempat.

"Apa yang ingin kaukatakan?" tanya Nastiti setibanya di pohon mangga.

Nawala yang mulanya membelakangi gadis itu, berbalik. Ia lirik sejenak pengawalnya di seberang sana kemudian menunduk untuk mencari tempat duduk yang nyaman.

"Bukankah kau bertanya tentang mengapa ada perang?" ujarnya sambil menyingkirkan beberapa bakal buah mangga yang berguguran kemudian ia mengambil tempatnya.

"Ya, aku hanya menyampaikan apa yang  tidak kumengerti."

Nastiti mengambil tempat di samping Nawala tetapi dengan posisi membelakangi arah pandang Jatmika padanya. Ia peluk kedua lutut.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now