Bab 1

2.3K 181 29
                                    


Suara tangis seorang bocah menjadi peramai suasana sebuah gubuk kecil milik seorang dukun pijat bayi, Nyai Wiasih. Hampir sewindu sudah wanita yang rambutnya sudah penuh uban itu menekuni pekerjaannya. Dibantu satu-satunya putri semata wayang, Nastiti.

"Dengar tidak, Paduka Bathara akan menaikkan upeti purnama depan nanti." Seorang wanita bersanggul dengan tubuh agak gemuk mengawali pembicaraan dengan beberapa ibu-ibu lainnya.

"Iya, aku juga sudah dengar dari orang kademangan."

"Haduh, beberapa purnama lalu saja sudah dinaikkan. Ini masih mau dinaikkan juga?"

"Tapi kan, kebutuhan kita semakin murah, Nyi."

"Iya benar semakin murah, tapi kalau upetinya dinaikkan ya, sama saja. Kalau terus begini kapan kita bisa pakai sutra."

"Hush! Kalau bicara jangan sembarangan. Lagi pula, upeti untuk mempermudah kita juga."

...

...

Nastiti menjauhkan telinganya dari bilik bambu dapur. Menguping sepertinya menjadi kegiatan yang paling disukainya ketika para ibu-ibu memulai percakapan sembari menunggu anak-anaknya selesai dipijat atau sedang menunggu giliran. Dapur yang berada tepat di samping ruang pijat memudahkan gadis bermata bulat itu mendengar semua pembahasan yang sedang terjadi di desa .

"Nastiti!"

Nastiti berdecak. Segera dilangkahkan kakinya menuju tempat pijat Nyai Wiasih yang dirangkap menjadi ruang tamu.

"Inggih*, Mbok."

"Ambilkan segelas air untuk putri Mbok Suti!"

Nastiti melihat seorang ibu sedang berusaha menenangkan bayinya yang terlihat gelisah.

"Inggih*, Mbok."

Nastiti segera memenuhi perintah Nyai Wiasih lalu segera berlalu, kembali ke tempat kesukaannya, setelah segelas air diterima sang nyai.

"Terima kasih, Nyai."

Nyai Wiasih tersenyum tipis sembari menerima setandun pisang raja dari Mbok Suti sebagai imbalan.

"Ngomong-ngomong, Nastiti mundhak* ayu, lho. Apa sudah ada jodohnya?"

Nyai Wiasih tersenyum lagi.

"Sayang sekali semua anakku perempuan. Yang keempat ini juga."

"Dengar-dengar, Nyi Jamiati mencari jodoh buat anak sulungnya."

"E-e-e... jangan sama si Panji, kurang ganteng. Sama Bayu saja, anaknya Pak Wijoyo."

"Halah, Panji sama Bayu paling nanti jadi petani. Mending sama Wasesa saja, bukannya dia menjadi prajurit di kedaton Haningan, pasti kehidupan Nastiti lebih terjamin."

Nastiti berdecak kesal. Lebih kesal daripada saat telinganya mendengar sang nyai memanggilnya ketika sedang asyik menguping.

Mengapa malah itu pembicaraannya? Memang siapa yang mau kawin?

Nastiti berdecak lagi sebelum kakinya melangkah keluar dari dapur. Gadis itu tak lagi bersemangat membantu simboknya.
Sementara Nyai Wiasih hanya tertawa, bukan karena recokan para ibu tentang jodoh Nastiti tapi karena beliau mendengar hentakan kaki dari dapur.

~~~

Bermain di hutan kecil; di belakang rumah; memang sudah menjadi kebiasaan Nastiti sejak pindah ke Talanggung, sebuah dusun kecil di Haningan. Dilaluinya jalan penuh akar pohon yang sudah tua dengan lincah. Nastiti tahu betul kemana dia akan pergi. Sampai di sebuah pohon waringin dia berhenti. Didongakkan kepalanya ke atas. Akar-akar pohon waringin yang mungkin sudah berumur ratusan tahun itu melambai-lambai di antara rimbunnya daun. Nastiti tersenyum. Ditengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seolah memastikan tidak ada seorang pun yang mengawasi. Dengan sekali hentakan, gadis itu melompat ke dahan pohon terdekat. Lalu melompat lagi ke dahan yang lebih tinggi seolah tubuhnya seringan kapas. Jaritnya yang hanya sepanjang lutut memudahkannya melakukan itu. Nastiti hampir mencapai puncak pohon tapi dia tidak lagi melompat, melainkan menuju batang pohon waringin yang berlubang. Di lubang itu, tangan Nastiti merogoh sesuatu. Kedua mata bulatnya yang indah bersinar tatkala didapatnya sebuah busur sekalian beberapa anak panah yang masih sangat layak digunakan meski terlihat sederhana.

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now