Bab 21

646 88 7
                                    


Lima hari sudah Bayanaka menjelma menjadi orang gila. Perawakannya menjadi begitu dekil. Sebagai seseorang yang masih menyamar, tentu dia tidak bisa begitu saja duduk di kedai dan memesan makanan enak. Seperti sekarang, dengan duduk santai sembari mengunyah dedaunan dan buah yang terjatuh dari pohonnya karena dimakan codot, diperhatikannya orang-orang yang hilir mudik.

Penyamarannya yang sempat diketahui seorang telik sandi bernama Damar, nyatanya benar-benar mengecoh penglihatan, seperti sekarang, duduk termangu dengan sesekali mengunyah daun dan buah kadaluarsa di dekat pasar. Tidak ada orang dewasa yang mau mengganggunya, karena menurut mereka tidak ada gunanya meladeni orang gila selama mereka tidak mengamuk.

Namun, usaha Bayanaka itu bukanlah tanpa hasil. Dari penyamarannya itu dia mengetahui sedikit banyak perkembangan yang terjadi di Hanimpura. Tentang pengangkatan Raka Gangsar menjadi Paduka Haningan, gelarnya, patihnya, tindakan-tindakannya meski tidak secara utuh. Bayanaka telah mampu menyimpulkan secara jelas sampai mana sepak terjang saudara angkatnya tersebut.

Kini, dia merasa penyamarannya telah cukup. Dia merasa terancam juga dengan para prajurit yang mulai banyak berseliweran. Lagi pula, kalau ada orang yang melapor pada prajurit tentang ketidaknyamanan atas kehadirannya, itu bisa bahaya.

Tidak lama setelah Bayanaka berpikir demikian, setidaknya empat prajurit bersama seorang penduduk tengah berhenti beberapa depa darinya. Dilihatnya penduduk lelaki itu menunjuk-nunjuk dirinya. Bayanaka mulai merasa tidak enak.

Ah, pucuk dicinta ulam tiba. Panjang umurlah orang itu.

Ketika para prajurit baru melangkah, Bayanaka segera berjalan menjauhi kerumunan. Dia harus menghilang dari sana. Jika terjadi baku hantam, gagal sudah penyamaran yang dianggapnya berhasil tersebut.
Para prajurit yang memang berniat menangkap orang gila yang telah meresahkan masyarakat sekitar tersebut juga telah mulai mengikuti. Namun, lama kelamaan mereka merasa si orang gila semakin cepat padahal menurut mereka, orang gila itu hanya berjalan biasa, memang sesekali meloncat layaknya bocah bermain gejlek.

Para prajurit cukup berhati-hati untuk tidak menangkap orang di tempat umum, bagaimanapun segala tindakan di Hanimpura dan sekitarnya harus langsung dipertanggungjawabkan kepada Patih Ranggita yang sangat tegas itu.

Masih mengikuti si orang gila, para prajurit itu kini telah sampai pada pategalan yang dipenuhi tanaman tebu. Mereka segera saja mempercepat niatan mereka.

"Hei! Berhenti!"

Si orang gila tidak menggubris. Langkahnya terus maju.

"Hei, kau orang gila yang berada di depan, berhenti atau kami akan melakukan kekerasan padamu!"

Merasa tidak dihiraukan, para prajurit itu melakukan tindakan. Dua dari mereka segera berlari dan meloncat hingga telah menghadang jalan si orang gila. Sembari menodongkan tombak-tombak, mereka mengepung si orang gila yang terpaksa berhenti dan sekarang tengah berdiri mematung. Wajah yang lusuh selusuh pakaiannya itu tiba-tiba saja terkikik.

"Kalian mau main apa? Engklek? Terompah? Atau, patok lele? Tapi, kalau patok lele, tongkatnya terlalu panjang." Si orang gila tertawa.

"Wong edan!" seru seorang prajurit.

"Memang dia orang gila," tukas prajurit lainnya.

"Sudah, tangkap saja dan bawa ke pakunjaran!"

Ketika dua orang prajurit yang berada di depan si orang gila mendekat dan hampir mencekal kedua tangannya, Bayanaka segera berkelit lincah sembari menampar pipi masing-masing prajurit.

"Ora iso!*" Bayanaka menjulurkan lidah tanda meremehkan para prajurit yang hendak menangkapnya lalu segera melarikan diri.
[*Tidak bisa]

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now