Bab 61

481 89 7
                                    


Nawala baru saja menangkis sebuah anak panah kala dilihatnya seseorang mulai mendekat dengan merobohkan beberapa bramacorah sekaligus. Nawala mengenali sosok itu, bahkan ketika masih di atas tunggangan. Tidak mau membuang waktu, ia juga bergerak mendekat; dengan sabetan pedangnya berhasil menjatuhkan para prajurit maupun bramacorah yang menghalangi; memperpendek jaraknya dengan sosok yang dia maksud.

Dua pedang yang beradu itu menimbulkan getaran yang tidak biasa, bahkan suasana sekitarnya menjadi tidak mengenakkan. Nawala harus menghadapi sahabatnya kembali.

"Apa yang kau lakukan di sini, Bayanaka?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Anggara."

Anggara berdecih.
"Kebetulan yang sangat menyenangkan, bukan?"

Begitu sekelumit percakapan mereka di tengah hiruk-pikuk perang. Datangnya bala bantuan dari pihak bramacorah membuat segalanya semakin runyam. Namun, pihak Anggara lebih bisa dihandalkan karena adanya tiga pendekar yang seolah membabi buta di sana.

"Kita harus menyingkir, Bayanaka. Bermainlah denganku sebentar saja."

Melihat Anggara memberikan isyarat, Nawala langsung memahami. Sahabatnya itu berniat menggiringnya ke tempat yang jauh dari jangkauan siapapun. Maka, dengan masih bertarung sama lain, mereka berpindah tempat; secara perlahan; sehingga tidak tampak pada mereka akan tujuan menepi.

Sementara itu, Senopati Arpagati masih berkutat dengan para bramacorah yang seolah semakin bertambah. Di sela-sela perlawanannya, ia sempatkan untuk mencuri pandang ke arah Anggara. Nyatanya, pemuda itu masih bergelut dengan sahabatnya begitu sengit. Akan tetapi, pada benak Rangga Senopati tersebut, timbul suatu keanehan perihal jaraknya yang terlalu jauh dengan rekannya; pemuda itu semakin menepi ke suatu area yang sepi perlawanan, membuatnya kesulitan memantau.

"Apa maksudmu ini jebakan?" tanya Nawala sembari menangkis serangan-serangan sahabatnya. Telah ia ketahui perihal Anggara dan pasukannya yang tiba-tiba muncul.

"Raka Gangsar pasti sudah merencanakan ini semua. Aku tidak bisa mengira apa yang akan dia lakukan setelah ini,--

Ucapan Anggara terputus ketika Nawala tiba-tiba melenting ke dinding batu dan melewatinya. Segera saja senopati muda itu berbalik dan kembali bersiap menerima serangan balasan. Namun, sahabatnya itu masih mematung.

"Kau lihat tiga pendekar di sana?"

Melirik sebentar Nawala ke arah area pertarungan yang rapat akan manusia. Tentu saja ia ingat betul tentang tiga pendekar yang kini sibuk membantai para bramacorah.

"Mereka pasti sengaja diikutsertakan untuk mengawasiku. Juga--mungkin--untukmu."

"Kau sudah tahu semuanya Anggara?"

Sembari mengatur napas, Anggara berusaha menjawab.
"Ya. Seseorang dari masa lalu yang membantuku mengungkap semuanya. Jika kau tidak segera menghentikan Raka Gangsar, semuanya akan dilumat, Bayanaka."

"Apa maksudmu? Jelaskan padaku!"

"Waktunya tidak tepat. Kau harus pergi dari sini."

Usai berkata demikian, Anggara segera menyongsong Nawala dengan melancarkan serangan-serangan mematikan. Tampak Nawala yang belum siap menghadapinya hingga pemuda itu tersurut ke belakang. Adu pedangpun kembali terjadi. Percikan-percikan api yang dihasilkan bahkan mampu membakar rumput kering.

"Bagaimana dengan mereka?"

Tanpa melirik, Anggara tahu siapa yang dimaksud oleh Nawala; tetap saja pemuda itu menyerang sahabatnya sendiri.

"Ki Sabrang Lor akan membantu. Yang perlu kau tahu, kau tidak bisa langsung ke Galung Asri. Raka Gangsar sudah mengincar padepokan itu. Kau tahu harus pergi ke mana."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Where stories live. Discover now