Bab 107

269 48 22
                                    

.
.
"Aku memahami hal tersebut, Pangeran.  Rupanya kau telah merencanakan segala sesuatunya dengan sangat baik. Pantas kau mampu menguasai seluruh Bumi Gunung Arjuna tanpa pertentangan, bahkan tanpa membawa nama besar Rawaja." Sang ratu menyanjung.

"Hamba merasa sangat terhormat dengan pujian tersebut, Kanjeng. Kiranya sekarang Kanjeng Ratu mampu menimbang kembali keputusan Kanjeng. Hamba tetap akan menghormati apa pun hasilnya. Akan tetapi, seperti yang telah hamba tegaskan di awal tadi, bahwa hamba melakukan ini semua untuk melindungi calon ratu hamba. Tidak ada maksud untuk ikut campur atau membuat perselisihan antara Candipura dengan Prasaga Mega. Hamba harap, Kanjeng memakluminya."

Usai penegasan Dhistira, sang ratu  bergeming. Pandangannya dialihkan dari sang pangeran kepada satu gadis di sampingnya. Wajah ayu gadis itu mengingatkannya pada seseorang. Memang tidak bisa ia tampik, jika ada bagian-bagian tertentu yang membuatnya mirip mendiang sang prabu. Tidak ia sangka jika bayi yang lahir dengan mengorbankan dua nyawa dahulu kala itu telah dewasa. Tidak pernah pula tebersit dalam benaknya memiliki keinginan untuk bertemu kembali. Ia bahkan telah menganggap bayi yang tidak ia inginkan itu sudah mati.

Kembali sang ratu mengedarkan mata. Wajah-wajah kaumnya tampak menunggu keputusan sementara dirinya harus menimbang segalanya dengan saksama. Adalah hal tidak terduga ketika Dhistira campur tangan dalam masalah ini. Sang ratu menyangka, jika penguasa Candipura itu telah mengetahui dampak kejadian ini di masa mendatang. Memang bukanlah rahasia jika kemampuan sang pangeran dalam meramal masa depan diketahui banyak pihak. Oleh karena kemampuan itulah, Dhistira sanggup menundukkan lawan dengan mudah. Cukup menawarkan bocoran masa depan atau memberikan keterangan tentang hal penting yang akan terjadi kepada mereka. Setelahnya, entah kegentaran atau kekaguman yang akan didapat.

"Nilaya."

Satu suara dengan pertalian batin didengar. Pertalian batin yang hanya bisa dilakukan segelintir keturunan Bayu Sakunta itu memang memungkinkan penggunanya melakukan pembicaraan melalui pikiran. Sang ratu yang mengetahui jika patihnya ingin urun pendapat tanpa diketahui banyak pihak pun menerima panggilan tersebut.

"Apa yang ingin kausampaikan, Ukasora?"

"Apakah kau akan menerima permintaan Dhistira? Tidakkah kaucuriga dengan keterlibatannya atas hal ini? Pikirannya licik, Nilaya. Mungkin saja dia telah mengetahui sesuatu yang menguntungkannya di masa mendatang atas kejadian ini. Oleh karenanya, dia memanfaatkan gadis setengah siluman itu."

Sang ratu tidak segera menyahut. Sepertinya ia sependapat dengan saudaranya tersebut.

"Aku tahu," jawabnya kemudian.

"Lalu? Apa keputusanmu?"

Rasa enggan menjawab menyelimuti benak Nilaya atas pertanyaan tersebut. Ia belum bisa memutuskan yang terbaik. Akan tetapi, ia pun tidak akan gentar apabila perang menjadi pilihan terakhir.
Setelah sekian helaan napas, akhirnya sang ratu pun membuka suara.

"Aku mengerti maksud Pangeran tersebut. Aku juga tidak berkeinginan untuk membuka gerbang perselisihan dengan pihak mana pun. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memberikan ampunan begitu saja. Kaum lain akan mengungkit-ungkit kejadian ini jika aku memberikan kelonggaran atas balasan yang seharusnya diterima Bhargawala. Tentunya aku tidak menghendaki hal yang bisa mencoreng nama Prasada Mega tersebut."

"Hamba mengerti, Kanjeng," Dhistira menyahut, "tentunya kita semua paham atas dampak yang terjadi, entah hukuman itu dilakukan atau tidak. Akan tetapi, kiranya kita bisa mencari jalan keluar lain tanpa harus mengorbankan salah satu pihak."

Mata tajam sang ratu memicing. "Katakan padaku, jalan keluar seperti apa yang kaumaksud itu."

"Hamba rasa Kanjeng Ratu lebih paham tentang jalan keluar ini. Hamba bisa yakinkan kepada Kanjeng Ratu, bahwa meringankan hukuman Bhargawala akan menguntungkan Prasada Mega pada masa mendatang."

MIRUDA (SELESAI)Where stories live. Discover now