Chapter 51

6.1K 333 13
                                    

Rumah Sakit Moh Husni Thamrin.

"Li. Cepet sadar, dong. Ayo. Lo nggak kangen gue emang? Ahhh, lo mah jahat, Li. Ayo dong, sadar. Gue kangen eloo." nada suara Mila memelan pada ucapan terakhirnya.

Suaranya tercekat, ia tak tega melihat Ali seperti ini. Tangisnya pecah. Ia menunduk, membiarkan air mata itu jatuh tanpa berniat untuk menghentikannya. Sedari tadi ia hanya berpura-pura kuat, padahal ia benar-benar sedih dan juga terpukul melihat sahabatnya itu seperti ini.

"Ali, ayo bangun. Jangan jadi kebo, buat saat ini aja." lirihnya. Kevin yang berada dibelakang Mila, mengusap-usap punggung Mila sekilas– memberikan ketenangan.

Kevin berjalan mendekati brangkar Ali. "Sampai kapan lo mau tidur, Li? Kayaknya penyakit kebo lo makin parah, ye. Buktinya udah dua hari ini lo gak bangun sama sekali, ha ha." Kevin tertawa hambar–atau lebih tepatnya tertawa miris.

"Ayo dong lo bangun. Lo gak kasian liat mereka semua ngekhawatirin lo? Katanya lo nggak mau bikin mereka khawatir sama lo. Katanya lo nggak suka liat mereka nangis karna elo, tapi sekarang liat, orang orang yang lo sayang nangis gara-gara lo tidur terus, Li. Jadi sekarang lo harus bangun, buka mata lo." air mata Kevin jatuh mengenai brangkar Ali.

Kevin berbalik dan langsung memeluk Mila yang masih terisak. Sepersekian detik, Kevin mengurai pelukan mereka.

"Kapan Ali bangun, Vin? Kenapa dia betah banget tidur?" Mila menatap nanar kearah Ali.

Kevin mengusap pipi Mila dengan ibu jarinya. "Ali pasti bangun. Dia cuma lagi capek, Mil. Tapi pasti Ali bakal bangun, buat kita semua."

"Mending kita sekarang keluar dulu, ya. Gantian sama yang lain. Mereka juga pasti mau liat Ali." Mila mengangguk–mengiyakan perkataan Kevin.

.

.

Prilly memakai baju steril yang disodorkan Mila tadi. Ia mengatur nafasnya sebelum masuk ke ruangan UGD–tempat Ali terbaring. Ia harus tegar.

Prilly mendorong pintu dengan perlahan. Bau obat-obatan yang menyengat langsung masuk ke indra penciumannya. Suasana dingin yang ditimbulkan dari pendingin ruangan langsung mengenai tubuhnya.

"Alii," tangisnya seketika pecah melihat Ali yang terbaring di brangkar rumah sakit.

Banyak peralatan medis yang menempel dibadan Ali, dan juga alat bantu nafas yang digunakan Ali untuk bernafas saat ini.

Prilly duduk dikursi yang berada di sebelah brangkar Ali. Diusapnya rambut hitam Ali yang mulai menipis karna pengaruh kanker yang dideritanya.

Ruangan ini terasa sangat hening. Yang terdengar hanya suara isak tangis Prilly dan juga suara alat pendeteksi jantung yang menandakan bahwa masih ada kehidupan ditubuh Ali.

Prilly menggenggam tangan Ali yang tidak ada infusnya, lalu meremasnya. Menatap wajah Ali. Wajahnya benar-benar terlihat pucat, Ali terlihat lebih kurus, pipinya terlihat lebih tirus. Hidung dan mulutnya terpasang tertutupi oleh alat medis.

"Ali, kamu bener-bener mau ngejauh dari aku, ya? Kamu bener-bener ngelakuin apa yang aku suruh kemarin, ya? Ayo, bangun. Aku juga kangen sama kamu,"

"Aku jahat banget ya kemarin sama kamu, jahat banget." Prilly tertawa miris.

"Bodoh banget ya aku, lebih percaya sama ucapan dia daripada kamu. Bodoh, ya. Aku minta maaf, aku bener-bener minta maaf," suaranya tercekat, tangisnya terdengar lagi.

Because YouWhere stories live. Discover now