Rumah

441 51 0
                                    

April tertidur di perjalanan bahkan ketika mereka berdua tiba di rumah..
Menyandarkan kepalanya di bahu Tio dengan kedua tangan melingkar di perut pria itu.
"Bangun, sudah sampai!" Perlahan Tio membangunkan April, mereka berdua tiba di rumah tepat tengah malam karena memang tak ingin bermalam lagi di motel.

April yang masih lelah berusaha turun dari motor meski kedua matanya rasanya tak ingin terbuka, Tio yang melihat istrinya sudah sangat kelelahan membantu April membuka sepatu dan jaketnya. Tiba-tiba April terkejut ketika Tio menggendongnya ala bridal style menuju lantai atas ke kamar mereka.
"Nggak mandi dulu? Badannya habis kena pasir tadi." Tanya Tio sembari menurunkan April di atas ranjang.

Wanita itu menggeleng lemah.
Tak membuka pakaiannya tapi malah menarik selimut untuk melanjutkan tidurnya, Tio hanya menyunggingkan senyum lalu meninggalkan April beristirahat sementara dirinya membersihkan diri di kamar mandi.
Setelah selesai, Tio bergabung dengan April di atas ranjang. Memeluk tubuh wanita itu dari belakang sembari menghirup aroma manis yang selalu menguar dari rambut panjang itu.

"Sudah senang, 'kah?" Bisik Tio, ia tahu wanita itu masih terjaga. Hanya karena lelah, April berusaha mengistirahatkan dirinya saja dan lebih memilih untuk tidur.
"Hmm.." wanita itu bergumam seraya mengangguk meng-iyakan, ia benar-benar bahagia tentu saja.

Hal yang ia nanti-nanti selama bertahun-tahun terpisah dengan Tio akhirnya dapat ia rasakan kembali, seolah ia telah mengembalikan Tio yang dulu.
Om Tionya..
Hanya mereka berdua, tidak ada orang tua maupun mertua apalagi saudara serta teman-teman yang selalu mencampuri hubungan mereka. Seharusnya hubungan ini bisa berjalan dengan baik.

Tapi beberapa tragedi membuat segalanya menjadi hancur lebur, dan April sadar jika ia takkan pernah bisa mengubah sifat dan watak Tio sampai kapan pun.
Mengingat hal itu, April kembali meneteskan air mata.
"Jadi, nggak jadi ninggalin aku, 'kan?" Benar saja, Tio kembali mengungkit soal itu. Pria itu benar-benar mengetahui bahwa April akan pergi.

"Kalau aku pergi memangnya kenapa? Kamu mau ngurung aku lagi?" Sahut April, tapi ternyata jawaban pria itu membuatnya terkejut.
"Enggak, aku nggak akan maksa kamu lagi. Aku cuman bisa memohon." Katanya, dada April terasa sesak mendengarnya. Berusaha menahan air matanya namun ia tak kuasa menahan tangis.

"Aku beli rumah ini untuk kita berdua, untuk anak-anak kita nanti. Dan aku nggak mau wanita lain, aku maunya cuman sama kamu." Sambungnya, April hampir saja luluh. Tapi ada suatu hal yang selalu mengganjal di hatinya jika teringat akan Tio.
"Apa ada jaminan sifat tempramenmu akan berubah jika aku tetap tinggal di sini?" Tanya April memastikan.

"Kalau soal itu, maaf, aku nggak bisa jamin. Aku nggak bisa janji." Jawabnya singkat, April pun kembali mengeluarkan air mata sembari teringat nasihat Mami. Ia mengambil tangan Tio yang memelunya di seputaran perut ratanya, kemudian mengecup buku-buku jemari Tio dengan sayang.

Tio dapat merasakan basah di jemarinya, pertanda wanita itu sedang menangis meski tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Itulah sebabnya aku nggak akan maksa kamu untuk tetap tinggal, karena aku nggak bisa janji. Semua keputusan ada sama kamu. Aku takut nyakitin kamu, tapi aku juga takut untuk kehilangan kamu..."

"...aku nggak mau egois dan mementingkan keinginanku sendiri, tapi kalau kamu merasa tidak sanggup, aku bisa apa?" Jelas Tio.
Tio juga merasa sedih, tentu saja.
Tapi ia tidak bisa menangis meski wanitanya kini sedang menangis berperang dengan batinnya sendiri di antara dua pilihan, bertahan walaupun sakit atau pergi memilih bahagia.

"Sebenarnya aku takut ketika pertama kali ketemu kamu, awalnya yang cuman mau main-main sama gadis belia. Ternyata perasaanku lebih besar dari pada yang aku bayangkan. Aku harap kita nggak pernah ketemu supaya aku nggak nyakitin kamu." Kata Tio, April masih terdiam dan tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. April membalikan badan untuk bisa melihat wajah tampan itu.

Memperlihatkan wajahnya yang sudah sembab dan basah karena air mata.

Tio yang melihat wajah April mulai khawatir dan menghusap air mata yang membasahi wajah cantik itu.
Jemari lembut April menyentuh wajah Tio, meraba setiap incinya seolah ia akan sangat merindukannya kelak. Mulai dari dahi dan pelipis, hingga kedua mata dan bibir yang selalu membuatnya candu.

"Aku ambil minum dulu ya?" Kata April tiba-tiba, Tio hanya mengangguk dan membiarkan wanita itu keluar dari kamar. Mungkin April sedang haus.
April berjalan keluar kamar menuju dapur, rumah terlihat sangat gelap karena lampu sudah dimatikan seluruhnya kecuali penerangan yang ada di luar rumah.

Kedua ARTnya pun sepertinya sudah tertidur pulas di kamar mereka, April mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. Sebelum kembali ke lantai atas ia menyempatkan diri untuk mengunjungi kamar lamanya yang berada tepat di depan ruang keluarga, terlihat gelap dan sudah kosong di sana.

Hanya ada ranjang dan lemari serta meja rias yang juga kosong, April akan merindukan kamar ini. Kamar dimana ia merasakan semua kesakitan yang diberi oleh Tio, mulai dari ketika pria itu membawa wanita lain ke rumah ini hingga segala bentakan yang pernah Tio layangkan kepadanya. April menghembuskan nafas panjang.

Lalu beralih ke lantai dua, tapi ia hanya melewati kamar Tio dan menuju kamar anaknya yang masih berlibur di rumah Kakek dan juga Neneknya. April tersenyum, kelak ia juga akan merindukan pria kecil itu. Segala celotehan dan perangai yang sama persis seperti Ayahnya. April pikir, hidup Theo akan lebih terjamin jika bersama dengan Ayahnya.

Lagi pula, sekarang waktunya adalah tanggung jawab Tio untuk Theo. Bagian April sudah selesai, Tio juga harus mendidik anaknya dan belajar menjadi Orang Tua yang bertanggung jawab pada anaknya. April meninggalkan kamar Theo dan akhirnya kembali ke kamar Tio, terlihat pria itu sedang memainkan ponselnya duduk di atas ranjang.

Saat April kembali ia menawari Tio minuman yang ia ambil di dalam kulkas, pria itu langsung menegaknya hingga tandas. Lalu kembali berbaring di atas ranjang dengan selimut menutupi sebagian tubuh mereka, berpelukan satu sama lain berharap momen seperti ini tidak akan berakhir sampai kapan pun.

Tio tak henti-hentinya mengecup dahi April sembari memeluk wanita itu ke dalam dekapannya.
"Kamu mau berapa anak?" Tanya Tio di sela rasa kantuk dan lelah mereka berdua.
"Mungkin dua anak lagi." Jawab April ketika kedua matanya sudah tertutup karena mengantuk.
"Baiklah, dua lagi kalau begitu." Racau Tio hingga akhirnya mereka berdua tertidur bersama.

***

To be continued

28 Sept 2023

Om TioWhere stories live. Discover now