Restu

367 48 3
                                    

Tok... tok... tok...

Wanita paruh baya itu membuka berjalan ke arah pintu depan, begitu membuka pintunya ia cukup terkejut melihat putrinya berdiri di depan pintu sembari menggandeng Theo di sampingnya. April tersenyum kikuk ke arah Ibunya yang masih berdiri mematung karena terkejut, jarang sekali April pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, apalagi dengan membawa Theo serta bersamanya.
"Kok nggak kasih kabar mau pulang? Ada apa? Ada masalah?" Tanya Ibu April dengan nada khawatir, April hanya menggeleng sembari tersenyum. Sebenarnya ia ingin bercerita perihal masalahnya, namun April tak ingin membuat Ibunya kembali sakit seperti dulu, mengingat Ibunya itu tidak bisa sekali saja mendengar kabar buruk.

"Nggak ada apa-apa, Mah. April ke sini cuman mau jalan-jalan, sekalian minta sesuatu dari Bapak sama Mamah." April memasuki rumah lalu duduk di sofa, membiarkan Theo berlarian kesana-kemari menelusuri rumah Neneknya.
"Minta apa?" Perkataan April terdengar serius, Ibunya lalu duduk bersebelahan dengan April ketika anaknya itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Ini formulir sekolah Theo, tahun ini Theo sudah mau masuk sekolah. Anaknya sendiri yang minta." Kata April menyerahkan formulir kosong yang belum diisi sama sekali.
"Oh, bagus lah kalau Theo sudah mau sekolah. Terus kenapa ini kosong?" Tanya Ibunya heran.
"Ya itu masalahnya." April terhenti di ujung kalimatnya sembari menghela nafas kasar.

"Sekolah itu nggak bisa terima anak Yatim, harus ada Orang Tua yang lengkap." Kata April berusaha mencari kalimat yang benar agar Ibunya tak terlalu terkejut.
"Ya nggak usah sekolahin di situ, 'kan sekolah lain banyak." Sahut Ibunya, sebenarnya ini adalah keinginan Mami. Jika April menolak, Mami pasti akan mengambil Theo darinya. Tentu saja April tidak mungkin mengatakan hal itu kepada Ibunya, April tak ingin ada perseteruan dari kedua belah pihak antara Ibunya dan Mami hanya karena Theo.
"Sekolah di situ bagus, Theo minta sekolah di situ karena ada teman mainnya di sebelah rumah yang sekolah di situ juga." Kata April beralasan, dan berharap Ibunya dapat menerima hal itu.

"Lagian, April juga malu sih kalau Theo nggak kayak anak-anak lainnya yang punya Ayah. Theo juga pasti bakalan malu." Kata April, pandangannya lalu jauh entah kemana setelah berkata demikian. Ibunya paham betul bagaimana perasaan April dan apa yang anaknya telah lalui.
"Jadi, kamu maunya gimana? Nikah? Sama siapa? Udah ada calonnya?" Tanya Ibunya, April menggeleng lemah.
Calon? Ya, memang sudah ada calonnya. Tapi, entahlah. Rasanya April belum siap untuk duduk bersanding dengan pria yang juga belum tentu mau menikahinya itu.

"Maksud April, daripada nyari Ayah baru buat Theo. Sementara Ayah kandungnya ada, dan dia juga punya hak atas anak kandungnya. Ada tanggung jawabnya sama Theo." Ucap April secara pelan, paham betul pasti Ibunya akan terkejut.
"Maksudmu Tio? Kamu mau nikah sama dia?!" Balas Ibu April.
"Mah, bagaimana pun juga dia Ayah biologis Theo. Soal April Mamah nggak usah khawatir, kalau ada apa-apa 'kan tinggal lapor polisi." Kata April berusaha membujuk Ibunya, terdengar helaan nafas yang berat dari Ibunya. Sudah April duga pasti Ibunya tidak akan setuju. Tapi mau bagaimana lagi, Theo sudah semakin besar dan segala kebutuhan sekolahnya harus ada sosok Ayah yang mendampinginya.

"Nanti Mamah ngomong dulu ke Bapak, kalau Bapak setuju, Ibu juga pasti setuju. Tapi ingat ya, kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri." Kata Ibunya, April mengangguk sembari tersenyum. Sedikit lega karena sudah ada lampu hijau dari Ibunya, dan sudah pasti Bapak akan selalu mengikuti perkataan sang Ibu. Ini artinya, April tidak akan kehilangan Theo. Mungkin bertahan beberapa tahun lagi sampai Theo dewasa rasanya tidak akan buruk, setelah itu April akan meminta cerai. Pikirnya begitu, terdengar mudah. Tapi April lupa bagaimana watak dan sifat Tio. Sampai sore hari April menunggu Ayahnya pulang, April dan Ibunya sempat memasak bersama hingga makan bersama layaknya dulu saat April masih tinggal di rumah ini.

Suara motor terdengar berhenti di halaman rumah, pertanda Ayahnya sudah pulang dan terdengar senang ketika melihat ada cucunya bermain di halaman rumah. April sebenarnya sedikit deg-degan, mungkin malam ini ia harus menginap semalam saja di rumah ini agar kedua Orang Tuanya sedikit senang.
Terdengar pembicaraan serius di ruang tamu ketika April berada di dapur sembari menyiapkan makan malam, Ayahnya memang tidak terlalu keberatan karena semua keputusan biasanya dipegang oleh Ibunya. Namun tiba-tiba Ayah menyusul April ke dapur.
"Pril!" Panggil Ayahnya.
"Ya Pak?" Sahut April sedikit terkejut.

"Memangnya sudah yakin mau nikah sama Tio?" Tanya Ayahnya karena masa lalu April dan Tio dirasa tidak terlalu baik.
"Iya Pak." Jawab April singkat, tak ingin banyak berbicara yang dapat membuat Ayahnya berubah pikiran.
"Memangnya nggak apa-apa?" Tanya Ayahnya lagi untuk sekedar meyakinkan, Ayahnya juga paham bagaimana perasaan April. Tapi bagaimana pun juga, Tio adalah Ayah kandung Theo dan punya hak untuk bertanggung jawab atas pertumbuhan anaknya.
"Iya, Pak. Nggak apa-apa." Jawabnya santai sembari tersenyum, Ayahnya terdengar menghela nafas kasar, sama seperti Ibunya tadi.
"Ya sudah, besok kalau pulang ke rumah Mami. Bilang Mamah sama Bapak sudah setuju, tinggal nentuin tanggal pernikahannya aja." Kata Ayahnya, April mengangguk mengerti.

Pada akhirnya April bisa bernafas lega, setidaknya Mami akhirnya tidak jadi mengambil Theo darinya. Meski April paham betul ini adalah awal kehancurannya lagi jika hidup bersama dengan pria itu, April memegang meja makan dengan kuat. Berpikir keras apakah ia bisa melewatinya kelak atau tidak, akan tetapi mungkin sekarang tidak sesulit dulu. Sekarang April memiliki Theo, ada penyemangat hidupnya dan ada yang menjadikannya alasan untuk tetap melanjutkan hidup. Teman-teman dan orang-orang terdekat April pasti aka  terkejut dan bertanya-tanya mengapa April malah menikah dengan pria yang pernah membawanya kabur dan menghamilinya.

Ini hanya untuk Theo, bukan dirinya.
Jika mencari seorang pria pengganti begitu mudah, tentu pastinya Mami dan Tio sendiri tidak akan mau jika anaknya diasuh dan ditanggung oleh pria lain. April tidak ingin merepotkan semua orang dan lebih memilih untuk mengalah. Lagi pula, pria itu sudah tak lagi mengganggu April setelah keluar dari penjara.
Mungkin keinginannya sudah pudar dan rasa obsesi serta posesifnya tidak lagi ditujukan kepada April, dan mungkin saja pria itu sudah tidak lagi menyukai April seperti dulu.
"Bun, Bunda mau nikah sama Ayah ya?!" Ujar Theo yang tiba-tiba berlarian ke arah April di sela lamunannya.

"Iya, Theo bakal punya Ayah sekolah nanti."

***

To be continued

13 Sept 2023

Om TioWhere stories live. Discover now