Tempramen

571 50 1
                                    

Hari-hari hidup bagai di penjara, batin April mungkin seperti inilah rasanya hidup di dalam penjara. Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, musim hujan dan panas sudah terlewati. April bahkan tidak tahu ini hari apa dan tanggal berapa, ia sama sekali tidak pernah memegang ponsel. Mungkin Om Tio tidak pernah lupa memberinya makanan dan minuman sehari-hari, pakaian dan mandi pun selalu rutin. Tapi tubuh April semakin hari semakin kurus, putih pucat karena tidak pernah terkena matahari secara langsung. Hanya sedikit cahaya yang masuk lewat kaca jendela, itupun durasinya hanya sebentar. April mengenakan dress terusan yang semakin hari semakin longgar.

Rambut gadis itu pun semakin panjang, April sempat berpikir apakah ia harus kabur atau selamanya berada di sini. Jika ia kabur tidak menutup kemungkinan pria itu akan mendapatkannya kembali dengan segala cara, namun jika ia terus berada di sini, April pasti akan mati juga.
Suara motor sport Om Tio akhirnya terdengar, seperti biasa pria itu akan pulang bekerja di sore hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja terbesit sebuah ide ketika April melihat vas yang tertata rapi di meja tempat biasa ia makan. Saat terdengar suara langkah kaki Om Tio menaiki tangga, April mengambil vas tersebut dan menunggu di belakang pintu.

Pintu terbuka setelah Om Tio membuka kuncinya, pria itu sempat heran tidak melihat keberadaan April. Biasanya gadis itu hanya duduk di tepi jendela atau di atas ranjang, tapi sekarang dia tidak ada.
Brak!
"Aarggh!" Om Tio menjerit pelan lalu memegangi kepalanya yang terasa sakit, seseorang baru saja memukul kepalany dengan sebuah benda. Yang ternyata pecahan vas berceceran di atas lantai, April tak ingin kehilangan kesempatan itu. Ia buru-buru keluar dari dalam kamar selagi pintu masih terbuka, April menuruni tangga berlari meski ia sempat terjatuh tepat di bawah tangga. Menuju ke pintu keluar, namun langkah April terhenti ketika menyadari pintu keluar ternyata terkunci. Dan tidak ada kunci yang bertengger di gagang pintu.

April tertunduk lemas, tak lama ia mendengar suara langkah Om Tio menuruni tangga. Sepertinya sudah terlambat untuk kabur ke pintu belakang, ditambah hanya ada pagar tinggi di teras belakang. April sempat melihatnya saat pertama kali menginjakan kaki di rumah ini.
Om Tio terlihat berjalan santai, di pelipisnya terlihat ada darah mengalir dari atas kepala, semua itu adalah perbuatan April. Nafas April terasa berat, pria itu bukanlah pria yang lembut seperti yang ia kenal dulu. Semakin lama Om Tio semakin menunjukan taringnya, seolah sudah mendapatkan April seutuhnya pria itu bisa melakukan apa saja kepada April.

Plak!

Seketika April terjatuh ke lantai, tamparan Om Tio barusan adalah yang ke sekian kalinya jika April berbuat salah. Terkadang April lelah menangis dan memohon kepada pria itu, April memegangi pipinya sebelah kanan tempat Om Tio menjatuhkan tamparan kerasnya. Esok pipinya pasti akan membiru seperti biasanya.
Om Tio lalu menarik lengan April seraya mencengkramnya dengan kuat, dengan tertatih April berjalan mengikuti Om Tio menuju kembali ke kamar di lantai dua. April sempat mengeluh sakit kepada Om Tio, namun sepertinya pria itu tidak perduli jika April sakit ataupun tidak.

Tio pulang bekerja membawakan gadis itu makanan kesukaannya, berharap rasa lelahnya bekerja bisa tergantikan melihat gadis itu tersenyum sambil memakan makanannya dengan lahap. Namun yang ia dapat malah sebuah vas di kepalanya, sontak saja Tio merasa April sudah kelewatan dan tamparannya barusan mungkin bisa membuat April jera. Gadis itu sudah beberapa kali mencoba untuk kabur, mulai dari mencuri kunci kamar yang selalu Tio kalungkan ke lehernya, hingga memecahkan kaca jendela. Meski Tio tahu dengan memecahkan kaca jendela tidak akan bisa membuatnya kabur karena ada jeruji besi.
Tio kembali mengunci pintu kamar, mendiamkan gadis itu lalu membersihkan diri di kamar mandi.

April sendiri tak ingat kapan ia mandi, biasanya Om Tio akan marah jika April tidak mandi. Pria itu bilang, April harus sudah rapi dan wangi saat ia pulang bekerja. Tapi sekali lagi April tak ingin menuruti pria yang sudah membuat April benci setengah mati.
"Makan!" Ujar Tio, April hanya mendiamkannya menatap keluar jendela terduduk di atas lantai sembari memegangi lututnya.
"Kamu mau makan sendiri atau Om yang paksa makan?!" Suara Om Tio mulai meninggi ketika tidak ada sahutan dari April, saat April melihat ke arah bulan ia mulai menyadari sesuatu. Om Tio mulai berdiri dari duduknya saat ia baru saja membuka bungkus makannya.

Menuju ke arah April, gadis itu sudah siap dengan melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Kalau-kalau Om Tio mau memukulnya kembali.
"Kenapa diem aja?!" Om Tio berhenti di belakang April, belakangan gadis itu memang sering terdiam dan tak memakan makanan yang Tio bawa. Tio berpikir mungkin gadis itu hanya sedikit stress karena terkurung terus-menerus di dalam kamar, tapi ternyata ada alasan lain yang Tio tidak tahu. Menyadari tidak ada pukulan yang mendarat di tubuhnya, April menurunkan kedua tangannya kembali memegangi perutnya sendiri.
"Ini bulan berapa?" Tanya gadis itu sembari melihat rembulan yang bersinar dengan terang di luar sana. Tio yang terheran hanya menaikan sebelah alisnya.

"Bulan sepuluh, tanggal dua." Jawab pria itu dengan santai, sempat berpikir mungkin ada baiknya Tio membawakan gadis itu sebuah televisi agar tidak ketinggalan berita, bahkan tanggal dan bulan saja dia tidak tahu.

"Aku hamil." Ucap gadis itu, lalu keduanya terdiam. Begitupun dengan Tio, pria itu terdiam berdiri bagaikan patung seolah tak bergerak. Sontak saja membuat Om Tio bingung, bukan karena dia tidak mau memiliki anak. Tapi Tio berpikir kedepannya bagaimana jika April tiba-tiba melahirkan, apakah ia harus membiarkan gadis itu keluar dari rumah ini meski hanya ke rumah sakit? April pun berpikir begitu, ia tidak mungkin selamanya berada di sini. Bagaimana jika sudah waktunya ia akan melahirkan?

"Om harus keluarkan aku dari sini." Kata April.
"Berapa bulan?" Tanya Om Tio.
"Mana aku tahu, tanggal bulan aja aku nggak tahu!" Sahut April, kesabarannya sudah habis.
"Terakhir Om bawain kamu pembalut itu kapan?" April menghela nafas kasar, sembari memegangi pipinya yang masih sakit.
"Dua atau tiga bulan, sudah lama pokoknya." Jawab April.
"Berarti sekitar itu, memangnya sudah tes?"
"Nggak perlu tes, udah ada buktinya. Aku mual, aku nggak bisa tidur, aku nggak datang bulan sudah berapa lama aku pun nggak tahu!" Kata April setengah berteriak, gadis itu agak sensitif beberapa hari ini, mungkin saja April benar hamil pikir Tio.
"Besok Om bawakan alat tesnya." Kata pria itu lalu kembali ke meja menyantap makanannya seraya memijit kepalanya sendiri, kebingungan mulai melanda mereka berdua.

***

To be continued

26 Agst 2023

Om TioWhere stories live. Discover now