53. Perjuangan Membawaku

1K 96 3
                                    






Kemarin rank #6 fantasi ✊

Terima kasih untuk vote dan komennya ♥️ Apakah bisa kita akan mencapai 50k pembaca sebelum tahun baru 🤔

Jangan lupa untuk vote, komen dan follow akun penulis ViPril_Aprilia agar bisa mengikuti seluruh aktivitas aku 🌼









Happy reading

__________________________________
ᕦ[ ◑ □ ◑ ]ᕤ◖⚆ᴥ⚆◗







Lius menggigit kasar sebuah roti yang ada di tangannya, kini ia tengah merasakan lapar tapi yang diberikan kepada mereka hanya roti dingin yang hampir berubah tekstur menjadi batu bata.

Beberapa orang mengakali roti ini dengan cara mencelupkannya ke dalam teh, tapi Lius tidak melakukan hal itu karena baginya haram memasukkan makanan ke dalam minuman.

"Jika mau ingin rasanya aku mengutuk orang yang membuat roti ini," dumel Lius sambil terus makan.

Perjalanan ke Serven memerlukan waktu yang lumayan lama, jarak dari Aranda ke Server juga bisa dibilang cukup jauh. Apalagi kapal yang membawa mereka ini adalah kapal yang tidak dilengkapi dengan teknologi paling canggih.

Mata merahnya mengamati sekitar ada sembilan penyihir muda yang sedang makan juga. Mereka rata-rata masih berkisar di usia dua puluhan akhir, untuk seorang penyihir hal itu masih sangat jauh-jauh dari kata senior. Apalagi banyak penyihir yang memiliki umur panjang.

"Salah lagi," kesal salah satu penyihir perempuan yang gagal untuk mengubah roti miliknya menjadi daging.

Wajahnya terlihat sangat kesal, dari mata tajamnya Lius bisa melihat jika orang itu berasal dari kalangan atas. "Lemah, aku saja yang pangeran bisa memakan ini," gumam Lius yang melihat itu seperti hiburan.

Ada lagi satu penyihir yang hanya menghela nafas kasar. "Ini tidak bisa, pencernaan ku tidak akan keluar tanpa sayur," ringis satu penyihir laki-laki dengan menutup wajahnya.

Lius yang mendengar itu menengok, ia mendapati penyihir yang menyapanya tadi sedang dalam kondisi hampir menangis.

Bukannya membantu Lius malah mengambil jarak agar tidak berdekatan dengan orang itu. Siapa juga yang akan nyaman dekat-dekat dengan orang yang saat ia makan malah membahas isi perut.

Lius memilih keluar untuk duduk di depan kapal. "Kau mau?" tanya Lius pada burung yang menghampiri dirinya.

Burung itu semakin mendekat, ia terlihat kecil tapi sangat menggemaskan. Ketika burung itu mulai mendekat Lius memberikan roti miliknya, burung itu mulai mematuk roti itu dengan paruhnya.

"Kenapa kau bisa ke sini!" kesal Lius pada burung itu.

Mata merahnya terus menerus menatap apa yang ingin burung kecil itu lakukan, pakaian penyihir ini membuat tubuhnya gampang berkeringat, entah kenapa mereka harus memakai jubah seperti ini. Belum lagi dengan warnanya yang hitam.

Sudah seperti pengikut sekte kegelapan.

Burung itu tiba-tiba hinggap di perut Lius, ia hanya diam saja, tidak bereaksi. Burung itu menatap wajah dari orang yang ia telah hinggapi.

Merasa burung ini sepertinya bukan burung biasa Lius mulai melakukan sandiwara, ia mengeluhkan cerita hidupnya. "Kau tau aku benar-benar sedang berada di ambang titik jenuh, ingin rasanya melihat sesuatu yang memiliki warna yang cerah. Orang bilang melihat banyak warna bisa membuat perasaan lebih baik."

RoosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang