1. Sekelas Lagi

4K 363 7
                                    

Sastra Inggris, dia tidak terlalu menyukai hitungan, juga malas berurusan dengan rumus. Itulah salah satu sebab mengapa dia mengambil jurusan Sastra Inggris, lagipula prospek ke depan juga bagus, kenapa tidak.

Fakultas Sastra dan Bahasa memiliki bangunan bercat abu-abu bercampur putih, ada parkiran dan taman. Mungkin taman akan menjadi tempat favorit Kaella nantinya.

Lulus SMA dan akhirnya memilih untuk mengambil jurusan Sastra, Kaella berubah, dia semakin merawat diri dan tentunya semua untuk satu tujuan.

Membuat si ikan kaleng jatuh cinta dan meninggalkan, haha. Rasanya Kaella ingin tertawa, itu juga salah satu alasan mengapa dia masuk Sastra, walau orang banyak bilang kalau jurusan tidak sesuai dengan minat jadinya malah nggak baik kuliahnya. Tapi sepertinya tidak, dia oke-oke saja. Atau mungkin karena dia masih semester pertama.

Banyak mata yang menatap ke arahnya, perjuangannya sejak SMP tidak akan dia biarkan sia-sia lah. Walau tujuannya cuma satu.

"Males banget gue liat muka lo." Pandangan Kaella seketika gelap, akibat sesuatu yang menutupi wajahnya. Kaella menarik jaket yang di letakkan di atas kepalanya hingga menutup wajah.

Kaella menatap kesal. "Rambut gue!" Kaella merapikan rambutnya yang berantakan akibat Shadian, cowok yang berjalan dengan santai melewati Kaella. Padahal cowok itu yang meletakkan jaket di atas kepalanya. Menyebabkan rambutnya berantakan.

Kaella mengejar Shadian yang kini berambut biru tua, cowok itu mewarnai rambutnya setelah PKKMB. Bahkan karena rambutnya itu dia jadi terkenal satu Fakultas. Ya, walau wajah cowok itu yang menjadi penunjang utama, kalau kata anak Sastra Indonesia, Shadian itu bagai pahatan patung dewa Yunani yang tidak sengaja sampai ke Fakultas Sastra. Kaella ingin muntah mendengarnya.

Tapi, bukan itu memang jadi daya tarik Shadian? Bahkan sejak SMP? Atau mungkin sejak cowok itu kecil.

"Lo jauh-jauh deh." Shadian berdecak saat Kaella duduk di sampingnya. "Cukup dua tahun gue lihat muka lo, males gue empat tahun lagi lihat muka lo yang jelek itu."

Tapi Shadian tetaplah Shadian, mulut minta di cabein cowok itu tidak bisa hilang. Tukang ngegas dan sangat senang saat Kaella terbully. Kampret memang.

"Gue males duduk di depan." Kaella duduk di samping Shadian, dia juga berusaha agar tidak terlalu ngegas pada Shadian. Karena tujuannya harus berhasil kali ini.

Shadian hanya diam, mengabaikan gadis di sampingnya. Kaella meletakkan jaket Shadian di kepala cowok itu. Persis seperti yang cowok itu lalukan padanya tadi.

Menarik jaket yang menutupi wajahnya, Shadian mendengkus saat suara tawa Kaella terdengar.

"Gue suka membalas kejahatan dengan kejahatan."

Shadian tidak membalas karena di saat bersamaan Dosennya masuk ke dalam ruang kelas.

***

Shadian membuka instagramnya, dia bukan ingin pamer. Tapi dia hanya ingin sekedar melihat info-info terbaru.

"Kaella namanya, 'kan?"

Shadian mengangguk pelan. "Naksir?" Shadian tetap fokus pada ponselnya.

Erwin mengangguk pelan. "Manis, lo ada nomornya?" Teman Shadian sejak masa PKKMB adalah Erwin, walau mereka awalnya tidak begitu dekat. Tapi sekarang mereka bermain bersama.

Shadian menggeleng. Dia sudah berteman--entahlah mereka selalu bertengkar--dengan Kaella selama lebih dari dua tahun lebih tapi dia tidak menyimpan nomor ponsel cewek yang selalu membalas ucapannya itu. Ya, agak kejam juga sih tapi mau bagaimana lagi. Jika dia punya kontak Kaella mungkin hanya melihat foto profil atau nama Kaella di ponselnya bisa membuat Shadian berkata kasar.

Sejak SMA mereka sudah berteman, dan itu membuat Shadian tau beberapa hal dari cewek itu. Meski interaksi mereka saat sekolah dulu tidak lebih dari berdebat.

"Masa lo nggak punya? Lo sama dia 'kan SMA bareng." Erwin berdecak. "Lo cariin dong." Erwin bersandar pada sandaran kursi.

"Cari sendiri." Shadian menyimpan ponselnya, cowok itu berjalan meninggalkan Erwin yang memanggil namanya. Tidak peduli pada penghuni kantin yang menoleh.

Bukan tanpa alasan Shadian mengambil Sastra Inggris, dia malas mengambil jurusan yang memiliki hitungan. Itu sebabnya. Orang tuanya oke-oke saja jadi tidak ada masalah.

"Lo Shadian?"

Shadian menoleh, dia menatap seniornya--mungkin--yang memakai dress kuning cerah. Shadian memutar bola matanya dan berjalan melewati seniornya yang menahan tangannya, membuat ia mau tidak mau berhenti.

"Jangan cuek gitu lah, gue ini senior lo." Senior dengan bibir merah dan terlihat sekali memakai make-up berlebih itu tersenyum. "Gue mau kenalan aja."

Shadian menarik tangannya, dia mendengkus. "Gue nggak tertarik." Shadian melirik tajam. "Jelek itu jekek aja, nggak usah pake dempul tebal-tebal."

Setelah mengatakan itu, Shadian berjalan. Meninggalkan seniornya yang menganga di tempat. Dia terkenal seantero fakultas, tapi dia malah di tolak oleh anak baru bau kencur seperti Shadian yang sayangnya ganteng maksimal.

Shadian mengacak pelan rambut birunya, tidak menyadari tatapan beberapa mahasiswi di sepanjang lorong mengarah padanya. Shadian melirik arloji di tangan kirinya, tiga puluh menit lagi dia ada mata kuliah, tanggung jika harus pulang.

Memutuskan untuk duduk di kursi yang sengaja di sediakan di dekat ruang kelas, Shadian memasang earphone pada ponselnya, lalu menyumbat telinganya dengan earphone putih tersebut.

Lantunan lagu Comethru dari Jeremy Zucker mengalun. Cowok itu melirik ke arah tangga, menemukan gadis yang sudah dua tahun lebih ia kenal.

Cewek yang dulu sering beradu mulut dengannya. "Ngapain lo?" Shadian menarik satu earphone dari telinganya, dia melirik Kaella yang duduk di sampingnya sambil memakan es krim.

"Ini umum, jadi nggak salah gue duduk di sini." Kaella memakan lagi es krim cokelatnya. Cewek itu menoleh karena merasa Shadian masih memperhatikannya. "Awas naksir gue."

Shadian mendengkus, membuang muka ke arah lain. "Lo bukan tipe gue."

"Emang bukan tipe, tapi kalo udah nyaman?"

"Diem deh, dasar kutu."

Kaella mendelik. "Eh, bibir lo lemes banget asal ngomong aja."

Shadian mendengkus, mulai lagi. "Gue lagi malas debat sama lo, disini juga nggak bakal ada yang bisa pisahkan kita kalo kita berantem."

Kaella mengalah, cewek itu memakan ea krimnya. "Kenapa lo masuk sastra? Gue kira lo bakal ikut Tahta atau Melssa yang banting stir jadi Dokter gigi."

"Kenapa? Lo nggak suka?"

Kaella berdecak sebal. "Gimana kita nggak berantem terus, mulut lo itu minta di jepit banget."

"Cuma bibir cewek luar biasa yang bisa jepit bibir gue."

Kaella menatap Shadian geli sekaligus jijik, bulu kuduknya seakan berdiri karena geli. "Ih, jijik gue."

Shadian tertawa. "Lo kayak nggak pernah aja."

Kaella terdiam, gadis itu menggaruk pelipis. Membuat Shadian menatap gadis itu agak tidak percaya.

"Lo nggak pernah ciuman? Sumpah?" Shadian tertawa, bahkan sampai memegangi perut. "Ya ampun, lo polos banget."

Memasang wajah kesal bercampur malu, Kaella dengan sengaja membuat kaos yang Shadian pakai terkena es krim miliknya. Membuat cowok itu berhenti tertawa karena rasa dingin di badannya.

"Rasain!"

. . .

Shadian mah mulutnya minta di cabein..

ShadianWhere stories live. Discover now