Kedua kakiku melangkah melihat tubuh pria itu yang menunggu ku di belakang kampus ku.
"Maaf aku terlambat" aku bersuara menyadarkannya.
Sebentar aku tertawa dalam hati. Untuk kali pertamanya, aku yang terlambat. Biasanya dia yang selalu terlambat.
Dia berbalik memandangku. Aku melihat fokus matanya pada ujung bibirku yang terplester kecil. Spontan aku memegang luka kecil ku ini.
"Eumh... ada apa?" tanyaku mengalihkan pandangannya.
"Kenapa bibirmu?" dia malah kembali memperhatikan luka ku.
"Hanya tergores terkena benda saja" bohongku.
"Ada apa kau ingin menemuiku?" tanyaku lagi mengalihkan pandangannya.
Bukannya menjawab. Jungkook malah menyunggingkan senyumnya. "Sana mau memaafkanku"
Aku tersenyum miris. Ku lihat wajahnya tampak bahagia. Baguslah, aku ikut bahagia melihat pria ku ini ikut bahagia.
"Aku senang, kau senang" ujarku masih senyum palsuku.
Tapi yang ku terima, ia menurunkan senyumnya itu. Lama diam menatapku. Aku malah ingin menumpahkan tangisku. Rasanya sudah tak tahan lagi.
"Jungkook ..." Aku berusaha menetralkan pernafasanku, tenggorakkan rasanya tercekat.
"Mari kita akhiri semuanya"
Aku berhasil mengungkapkannya. Mengatakan sesuatu yang sudah lama Daniel katakan. Mungkin ini yang terbaik. Cukup sudah aku menjadi gadis terjahat yang memisahkan kedua orang itu.
Ku lihat ia memandangku terkejut dan semakin mendekatiku.
"Ka—kau tak bercanda kan?"
Aku tersenyum lirih. Ku raih kedua tangannya, menggenggamnya dengan hangat. Ku tatap matanya dalam.
"Tidak sama sekali. Mari kita akhiri semuanya. Aku tak ingin ada yang tersakiti lagi"
Sebisa mungkin aku menahan tangisku. Kedua mataku malah sudah berair.
"Ji—Jihyo, aku tidak mau"
"Jika kita meneruskan ini. Sana akan kembali tersakiti. Aku juga tak ingin memisahkan kalian berdua. Akan lebih baik kita mengakhiri semua. Dengan begitu semuanya akan kembali baik-baik saja seperti dulu."
Aku berhenti berbicara. Kedua tanganku beralih memeluk tubuhnya, merebahkan kepalaku di dada bidangnya. Mungkin untuk terakhir kalinya? Air mataku akhirnya luruh juga. Aku sudah tak tahan lagi berpura-pura 'baik' di depannya.
Ku rasakan dia membalas pelukanku. Aku tersenyum kecil. Setidaknya calon mantan kekasihku ini masih mau menguatkan tubuhku yang lemah ini.
***
2 tahun kemudian...
BRUK!
"Astaga"
Aku meringis kesal melihat berkas-berkas ku sudah berserakkan di lantai itu.
"Maaf. Aku terburu-buru"
Aku memandang gadis yang baru saja menabrakku itu. Dia pergi begitu saja setelah menabrakku dan menghasilkan berkas-berkas yang ku bawa berjatuhan.
Aku pun menjongkokkan diriku mulai mengutip berkas-berkas ku itu.
"Mau di bawa kemana semua ini?"
Aku mendongak mendengar seruan seseorang. Dia ikut berjongkok di depanku dan membantu mengutip berkas-berkas ku. Mau tidak mau aku ikut tersenyum.
"Kau ada kuliah siang?" tanyaku padanya.
"Yah begitulah" ujarnya.
Selesai kami mengutip berkas ku, aku mengambil ahli berkas ku itu yang sebagian di tangannya.
"Kenapa? Aku akan membantumu"
Aku berdecak pelan. "Pergilah masuk ke kelasmu. Selesai ini aku ingin menemui Daniel"
Dia tidak menjawab. Aku tersenyum padanya sebelum aku melaluinya. Tapi mendadak aku teringat sesuatu. Aku kembali membalikkan tubuhku.
"Ah Jungkook, tadi aku melihat Sana di kelasku. Dia menyuruhku memanggilmu jika melihatmu" ujarku.
Dia memandangku bingung. Seakan bertanya 'untuk apa dia memanggilku?' aku hanya mengedikkan bahu ku.
Aku pun kembali melanjutkan langkahku. Aku terus tersenyum tipis. Mengingat wajahnya itu. Jika kalian bertanya bagaimana hubunganku dengannya semenjak 2 tahun yang lalu? Jawabannya adalah kami baik-baik saja. Walau awalnya begitu susah untuk baik-baik saja, namun perlahan memang semua membaik. Aku dan Jungkook menjadi berteman layaknya aku seperti Daniel, hanya saja aku mencoba menjaga jarak agar Sana tak salah paham lagi. Mengingat gadis itu semakin membuatku tersenyum. Sana sekarang telah menjadi teman ku. Ntah dimulai darimana, kami berteman begitu saja. 1 tahun yang lalu aku mendengar Jungkook dan Sana berpisah. Ku pikir itu karena ku, ternyata tidak. Sana memutuskan merasa tidak pantas bersama Jungkook, ia tidak bisa memberi perhatian, ia takut Jungkook kembali bermain di belakangnya, alhasil ia lebih baik melepaskan kekasihnya saja.
Disaat aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba saja seseorang menarik tanganku dari belakang dan hampir membuat berkas ku terjatuh.
"Jungkook? Ada apalagi?" Aku sedikit membesarkan mataku melihatnya.
Dia tampak bingung. Dan malah mengusap tengkuknya. Aku tertawa kecil. Wajahnya kini mengingatkan ku saat pertama kali ia mencoba mengajakku berbicara.
"Kenapa? Apa kau perlu bantuan?" tanyaku menyadarkannya.
"Eee... itu, ee... ya, ka—kau sibuk?"
Dia terlihat gugup, bahkan memandang mataku pun. Aku berpikir sebentar. Kemudian menggeleng pelan.
"Tidak sih"
"Ee... ka—kau sudah makan? Kau ingin makan bersama?" Dia kembali berkata terbata-bata membuatku gemas melihat tingkahnya kali ini.
"Ini aku akan makan siang. Daniel mengajakku"
Ku lihat wajahnya berubah masam. Ia memalingkan wajahnya. "Memangnya kau tak ada kelas? Kalau tidak, aku bisa membatalkan janji ku dengan Daniel"
Setelah mendengar lanjutan ku itu, ia malah tersenyum lebar. "Aku tidak punya kelas."
Aku memincing. "Kau tak berbohong kan?"
Dia mengusap tengkuknya seperti mencari alasan. Aku tahu, dia pasti punya kelas siang ini.
"Astaga, bolos sekali saja tak masalah. Ayo" Setelah itu ia menarik tanganku begitu saja meninggalkan kelasnya.
Aku tertawa pelan. Dasar pria ini. Dia selalu sama saja. Masih saja membuat hatiku berdebar kencang.
***
Kami makan di restaurant yang kebetulan dekat dengan kampus kami. Awalnya, kami hanya diam dan fokus makan saja. Tapi, Jungkook memulai percakapan yang membuatku menatap lurus pria itu.
"Kalian memang sugguhan?"
Aku mengernyit tak mengerti maksud Jungkook. Tapi selanjutnya aku langsung mengerti saat dia memperhatian cincin berlian yang singgah di jari manis ku.
Aku tersenyum simpul. Lalu aku mengelus cincin itu. "Jika tidak, mana mungkin dia memberikanku cincin ini secara cuma-cuma"
Setelah aku mengatakan itu, aku mendongak memandang wajahnya. Ntah firasatku yang benar, ia terlihat kecewa. Tatapannya memancarkan kesedihan. Saat ini, apakah aku boleh egois lagi? Jika ia punya keberanian berbicara, aku juga akan berani menghentikan semua ini sebelum terlambat.
Dia bahkan tak tersenyum mengucapkan ku selamat. "Kau datang, kan?" lanjutku.
"Ntahlah."
Kemudian, ia kembali melanjutkan makannya. Keadaan menjadi hening. Aku menjadi tak selera makan.
***
2 minggu kemudian...
"Park Jihyo chukkae!"
Sana memelukku erat. Lihat kan, sekarang kami begitu dekat. Dia bahkan mengelus punggung ku, aku pun membalas pelukannya dengan senyuman lebar.
"Kalian terhebat." Lanjut Sana selesai melepaskan pelukan kami masing-masing.
Aku tersenyum tipis melirik Daniel berdiri di sebelahku. Dia juga tersenyum.
"Terimakasih Sana" ujar Daniel.
Aku memperhatian Daniel yang selalu memandangi Sana. Aku tertawa dalam hati. Dasar Daniel tak pernah berubah. Mulut bisa mengatakan benci, tapi hati siapa yang tahu. Sayangnya, gadis berdarah jepang itu terlihat tak peka.
"Mari kita berfoto" Sana mulai mengarahkan kamera ponselnya. Berdiri di tengah-tengah dan kami siap bergaya.
"Ah! Selamat sekali lagi! Pertunangan kalian berjalan dengan lancar. Semoga pernikahannya juga ya. Di tunggu"
Aku tertawa kecil dengan keantusiasan Sana itu. Sedikit bingung, yang bertunangan siapa? Tapi yang paling bahagia disini Sana. Seakan acara ini milik gadis itu.
"Kau sendiri? Sudah memiliki kekasih?"
Apa itu? Sebuah kode keras Daniel. Aku melirik pria itu, yang menanti jawaban Sana.
Ku dengar Sana malah tertawa renyah. "Jika aku sudah memiliki kekasih, akan ku bawa kesini mengenalinya pada kalian"
Ku lihat lagi wajah Daniel tampak sumringah. Ku senggol lengannya keras. Lalu tersenyum lebar menaik turunkan alisku.
Daniel sudah tak bisa menahan senyumnya. Dasar pria itu.
***
Suasana di acara pertunangan itu tampak meriah walau hanya sedikit orang yang datang. Jihyo dan Daniel memang tak mengundang semua orang, mereka juga melakukannya seperti diam-diam. Jadi, sedikit orang yang mengetahui ini, itupun dari kalangan terdekat saja.
Daniel berdiri sendirian meneguk sebuah minuman. Sedari tadi fokusnya hanya pada seorang gadis berdarang jepang itu, yang sedang tertawa lepas dengan sahabatnya itu. Ia memang dari dulu tak pernah bisa membenci gadis itu.
Asik memandangi gadis itu, sesuatu menarik perhatiannya dari jauh. Ia tertawa kecil. Mendekati seseorang.
"Sedang apa berdiri disini? Tak memberiku salam?"
Seseorang itu menghela nafas panjang. "Yah... selamat, aku mendoakanmu semoga tak jadi menikah"
Daniel malah tertawa. "Kejam sekali doa mu itu"
Seseorang itu tampak acuh. Sejujurnya, ia juga tak ingin menghadiri acara sialan ini. Namun, ia juga tak ingin membuat gadis yang masih mengunci hatinya itu sedih karena ketidakhadirannya, apalagi saat gadis itu menanyai selang waktu itu, apa dia datang atau tidak.
Daniel mengikuti arah pandang seseorang itu. Memandangi Jihyo yang tertawa lepas dengan Sana. Ia tersenyum kecil. Tangannya bergerak merangkul pundak seseorang itu.
"Hei Jungkook"
Seseorang itu yang tak lain mantan kekasih Jihyo menoleh malas pada Daniel.
"Kau masih mencintainya? Masih ada waktu. Kalau kau berhasil, aku akan melepaskannya langsung"
Dan saat itu Jungkook memandang Daniel mencari keseriusan pada pria itu.
"Aku serius. Kejar lagi dia. Aku membiarkanmu untuk kali ini, asal tak kau sakiti dia lagi" lanjut Daniel.
Jungkook menoleh cepat balik memandang gadis pegunci hatinya itu, tersenyum begitu lebar. Dan pada saat ini, ia mulai merasakan debaran jantungnya semakin memompa begitu cepat. Baiklah, ia akan memulai kembali semuanya seperti pertama kali ia mencoba merebut hati gadis itu. Tapi kali ini, ia akan mencoba cara yang berbeda.
'Tunggu aku, gadisku, Park Jihyo'
***
END...