79. Selamat Tinggal

Start from the beginning
                                    

"Udah, barusan gue buatin susu terus tidur." Danis menghela napas kasar. "Jangan rokok terus, Wa," kata Danis memperingati. Entahlah ini adalah peringatan ke berapa ratus yang tidak pernah Dewa gubris.

"Kenapa? Lo mau bilang rokok bikin cepet mati?" tuding Dewa. "Kalo lo mau bilang itu, gue ingetin. Semua orang juga bakal mati kalo emang udah waktunya. Ngga usah nunggu rokok apa engga."

"Bukan gitu," bantah Danis. "Rokok ngga baik buat kesehatan. Lo itu masih muda. Jaga tubuh lo. Kalo lo ngga bisa jaga tubuh lo sendiri, gimana mau jagain Riri, mama sama papa."

Dewa berdecak. "Kan ada lo nyet."

"Kita ngga tau apa yang terjadi nanti."

"Ck, ngelantur lo. Kaya mau mati aja." Dewa memutar bola matanya jengah. Saudara kembarnya ini terlalu dramatis. "Lagian kalo lo bisa jaga mereka, kenapa harus gue?"

Danis menjitak kepala Dewa. "Udah ngga mau kuliah, rokok terus, hobi cuma keluyuran, rebahan, berantem. Mau jadi apa lo?"

"Emang kalo jadi apa-apa harus kuliah dulu gitu? Sempit banget pikiran lo kalo mikir kaya gitu."

"Gue ngga bilang kaya gitu." Danis mendengus kesal. "Lo itu harus bersyukur, Wa. Banyak diluaran sana orang yang pengen kuliah tapi ngga bisa. Lo punya banyak kesempatan malah lo sia-siain."

"Sok nasehatin," cibir Danis. "Di sini gue abang lo, aturan gue yang nasehatin."

"Ngga pantes jadi abang," bantah Danis tak mau kalah begitu saja.

Dewa melotot tajam. "Ngga pantes, ngga pantes. Faktanya gue tetep abang lo. Lo nya aja yang biadab ngga mau manggil gue abang."

"Ogah," ngeyel Danis.

Dewa menunjukkan kepalan tangannya ke udara. "Kalo ngga inget lo sodara gue, udah gue gibeng lo."

"Ngga takut."

Dewa berdecak dengan tatapan tajamnya.

"Ngga mau tau, ntar Riri lulus SMA lo juga harus kuliah," celetuk Danis tiba-tiba. "Dari pada lo cuma rebahan ngga berfaedah."

"Ngga asyik lo," sungut Dewa. "Hidup itu cuma sekali, tetaplah rebahan dan jadi beban keluarga."

"Ck, bener-bener makin gila lo. Kalo kaya gini mana mau Nenda sama lo."

Mata Dewa membulat sempurna. "Lo tau soal Nenda?"

Danis menunjukkan wajah songongnya. "Apa yang ngga gue tau."

"Siapa yang ngasih tau lo?"

"Riri," santai Danis.

"Anjir adek lo ember banget mulutnya!"

"Adek lo juga kalo lo lupa," balas Danis. Danis memincingkan mata ke arah Dewa. "Tapi ngomong-ngomong lo serius suka sama Nenda? Kalo iya, berarti lawan lo si bocah pecicilan yang suka main tik-tok itu dong?"

"Siapa?"

"Ilham, sahabatnya Gala."

Dewa menghela napas kemudian berdecak. "Ck, bodo amat."

"Kenapa?" bingung Dewa melihat Danis yang tiba-tiba berdiri dari kursinya. Mata Danis sedang memincing menatap tajam ke arah pagar rumah yang tampak sepi dan sedikit gelap.

"Kayanya ada orang yang ngawasin rumah kita."

"Pak Udin kemana emang?" Pak Udin itu satpam di rumah mereka.

"Pak Udin 'kan sakit. Tadi sore izin pulang."

Dewa mengangguk. "Mungkin cuma orang lewat."

"Engga, Wa. Dari beberapa hari yang lalu gue emang udah ngerasa aneh."

MY CHILDISH GIRL [END]Where stories live. Discover now