Rava membuka sepatu dan kaos kaki Dinda tepatnya di sebelah kanan. Dinda tidak memberontak ataupun protes, ia masih kaku di tempat.

Selesai membuka sepatu dan kaos kaki itu, Rava berjalan ke arah kotak P3K, mengambil obat merah dan kapas.

Lalu kembali berjongkok di hadapan Dinda.

Dinda menatap kakinya, benar saja. Kakinya ada luka kecil namun mengeluarkan darah, Dinda ingat itu adalah luka bekas perkelahian kedua orang tuanya kemarin. Ia ingat bagaimana sang Papa melemparkan gelas ke lantai, alhasil Dinda yang menghalangi dan melindungi sang Mama, kakinya menjadi sasaran gelas itu.

Dengan cepat Dinda menjauhkan kakinya dari tangan Rava. "Jangan!" Tolak Dinda yang kini langsung menatap ke arah lain, mencoba melupakan apa yang terjadi pada keluarga.

Rava menaikan alisnya, bingung.

"Lo bisa pergi gak sekarang!" Ucap Dinda sambil memeras rok abunya kuat. Matanya memerah menahan airmata.

Rava berdiri, menatap Dinda dengan penasaran. "Kenapa?" Tanya Rava datar.

Dinda kembali menatap Rava. "Dari mana lo tau luka gue?" Tanya Dinda dengan kedua matanya yang sudah mulai penuh dengan genangan air.

Rava mengela napas pelan, memasukan kedua tangannya ke saku celana, menatap Dinda dengan datar tak ada ekspresi. "Waktu gua jegal kaki lo, gua liat ada luka di kaki lo."

Dinda menghela napas lega, ia kira Rava tahu apa yang terjadi dengan kejadian lukanya ini. Ia salah kira, "Maaf udah bentak lo." Ucap Dinda menahan malu.

"Kenapa bisa luka?" Tanya Rava datar, namun pertanyaan simple itu membuat Dinda menahan senyumnya, Ia merasa Rava perhatian padanya.

"Gua gak nyuruh lo senyum, gua nanya kenapa luka?" Tanya Rava sekali lagi, suara itu terdengar serius.

Dinda terdiam beberapa saat, lalu menggeleng. "Ini privasi gue." Ucap Dinda dengan cepat, ia tidak ingin orang-orang banyak tahu tentang kehidupannya.

Rava terdiam, menatap Dinda dengan serius. Detik berikutnya ia mengangguk paham.

Kini keduanya saling terdiam, Dinda tidak bisa menahan jantungnya yang sedari tadi terus berdetak. Ia mulai memikirkan topik apa yang harus di bahas. Percayalah, mencari topik lebih sulit di banding memecahkan soal matematika.

"Nalla sebenarnya terpaksa deketin lo, Va." Dinda langsung menutup mulutnya dengan tangan, Ia keceplosan.

Rava menaikan sebelah alisnya "Maksud lo?"

Haruskah Dinda memberitahu pada Rava?

Ini adalah satu-satunya topik yang ada pada otak Dinda. Ya, Dinda harus mengatakannya.

Dinda menarik napasnya perlahan, lalu kembali menatap Rava. "Sebenarnya, Nalla terpaksa deketin lo karena dia di ancam sama Chelin." Ujar Dinda.

Rava semakin serius menatap Dinda.

"Chelin bakalan tutup mulut kalau Nalla ngikutin perintah dia."

"Tutup mulut soal apa?"

"Nalla pacaran sama Alan, ketua Osis kita. Nalla gak mau hubungannya di dengar anak SMA Praja Mukti. Chelin gak bakalan kasih tau ke orang-orang tentang hubungan mereka, asal Nalla deketin lo." Ucap Dinda dengan cepat.

Rava terdiam.

Dinda mengerutkan dahinya, melihat wajah Rava yang berbeda. "Ke-kenapa Va?" Tanya Dinda.

Dinda berdiri dan maju selangkah mendekati Rava. "Va, Nalla udah ada pacar. Dia juga sayang banget sama pacarnya, kayaknya bakal susah misahin mereka," Dinda mencoba ingin menyentuh bahu Rava.

NALLAN Where stories live. Discover now