Riri tidak punya siapa-siapa lagi selain. Bunda, nenek dan Gala. Apa mungkin Riri rela jika harus kehilangan salah satu dari mereka? Tentu saja tidak.

"Ri, lo mau gue pergi?" ulang Gala. Cowok itu melambaikan tangannya di depan wajah Riri yang terlihat bengong.

Riri tersadar dari lamunannya. "Kalo kamu pengen pergi, ngga papa."

"Beneran?"

Riri tersenyum lalu mengangguk. "Aku ngga bakal minta kamu pergi. Tapi kalo kamu pengen pergi. Pergi aja ngga papa. Aku bakal belajar ikhlas pada sesuatu yang ngga mau aku genggam."

"Jadi kalo gue pergi, lo ngga bakal nahan?"

Lagi-lagi Riri tersenyum. Sekarang ia harus menjadi tegas. "Ngapain nahan orang yang udah ngga mau bertahan?"

"Tapi gue ngga mau pergi. Gue maunya sama lo aja. Cukup. Ngga ada yang lain," rengek Gala.

"Ngga ada yang lain? Terus Sintia?"

"Ngga, Ri! Gue beneran ngga ada apa-apa sama dia. Gue beneran cuma bantu dia waktu itu. Lo ngga percaya?"

"Engga," geleng Riri. Wajahnya tampak polos dan datar saat mengatakan itu. Padahal jawabannya barusan membuat Gala jadi gelisah.

"Kalo emang lo ngga percaya. Mulai saat ini gue bakal jauh-jauh dari Sintia. Biar lo percaya."

"Berarti kemaren deket-deket?"

Gala mengusap wajahnya kasar. "Ngga gitu sayang," gemas Gala.

Pagi ini Riri benar-benar tampak berbeda. Gadis itu bisa menjawab semua ucapan Gala dengan tepat sekaligus membuat Gala jadi kebingungan sendiri. Biasanya 'kan Riri itu agak bego.

Karena saking gemasnya dengan perubahan sikap Riri. Gala jadi ingin mengantongi Riri saja. Boleh?

Mata Riri mengerjap. "Terus gimana?"

"Pokoknya gue bakal buktiin sampe lo percaya kalo gue sama Sintia itu ngga ada hubungan apa-apa."

Riri mengangguk setuju. "Selama kamu ngebuktiin itu, kamu ngga boleh larang-larang aku. Aku bebas ngelakuin apapun yang aku suka tanpa larangan."

Gala mendelik tajam. "Kok gitu?" protesnya tidak terima.

"Ya udah, ngga dimaafin. Sama Sintia aja sana." Riri memutar bola matanya malas. "Emang Sintia lebih cantik kok."

"Ngga!" jawab Gala.

"Ngga apa?"

"Cantik lo."

Pipi Riri sebenarnya sudah bersemu merah. Jarang sekali cowok itu memujinya cantik. Tapi Riri tetap berusaha tidak menunjukkan rasa senangnya itu. Riri menahan agar ekspresi mukanya terlihat biasa saja. Kalau sampai tahu, Gala pasti akan besar kepala lagi.

"Setuju?" tanya Riri yang langsung membuat Gala menggeleng. Tanda tidak setuju dengan perjanjian yang Riri buat.

"Ngga! Ngga! Apa-apaan! Gue sama Sintia itu cuma temen. Masa gara-gara salah paham. Lo buat perjanjian ngga masuk akal gitu." Gala menjeda ucapannya. "Enak di lo. Ngga enak di gue."

"Enak di aku gimana?

"Ya masa gue ngga bisa larang-larang, lo?"

"Aku juga ngga pernah larang kamu."

"Ya udah mulai sekarang larang-larang gue. Gimana? Adil 'kan?"

Riri menggeleng. "Ngga mau! Pokoknya perjanjian tadi ngga boleh diingkari kalo mau dapet maaf."

"Ngga!" tolak Gala.

"Ya udah." Riri beranjak berdiri. Tapi sedetik kemudian ia merasakan sebuah tangan besar menahan pergelangannya.

MY CHILDISH GIRL [END]Where stories live. Discover now