ARTI SEBUAH DAMAI.

28.2K 1.2K 214
                                    


Kita telah usai bersama damai
Pernah rapuh diterjang badai
Meringkas harap dalam ungkai
Lantas kisah kita, terus terangkai.

(Schatje, aprilwriters)

***

"Karenina, gue minta maaf." Jesslyn menangis tersedu-sedu seraya berlutut di depan kursi roda tempat Karenina duduk, perempuan itu menyentuh kedua tangan sahabatnya, menyalurkan rasa sesal yang mendalam. "Gue cuma mau tepatin janji sama Royan, gue nggak ada niat bohong sama elo, Karen. Gue minta maaf." Ia sentuhkan keningnya pada punggung tangan Karenina, baru kali ini melihat Jesslyn sampai sesedih itu, bahkan tak hanya Jesslyn, semua orang juga akan rasakan sedih jika datang ke pemakaman keluarga, teman, kekasih mereka. "Gue tahu semuanya sejak awal waktu lo nyuruh gue cari tahu hari itu, gue telepon ibunya Royan, dan Royan sendiri yang ngomong. Gue pikir penyakit dia enggak serius, tapi gagal ginjal yang dia derita makin parah, jadi bukan ayahnya Royan yang sakit ginjal, itu semua cuma pengalihan dari dia. Maaf, Karen ...."

Karenina sendiri hanya diam, entah harus bagaimana lagi ia bersikap, rasa sakit yang teramat membuatnya bungkam, hanya air mata yang mewakili bersama tatapan nanarnya di area pemakaman Royan sore ini, jenazah baru dipulangkan dari Singapura, ia akhirnya menyerah pada gagal ginjal yang diderita. Sore ini angin berembus kencang meliuk melewati banyaknya manusia berpakaian serba hitam yang berbaris di tepian  sebuah liang lahat kosong, sebuah peti mati berada di sisi kiri, di sana Royan bersemayam dalam damai, dalam tenang yang justru membuat banyak orang meratap pilu, tersedu-sedu tak kenal waktu.

Karenina berada tak jauh dari tempat pemakaman, ia duduk pada kursi roda di bawah rimbunnya pohon beringin, ada Jesslyn yang masih bersimpuh, ada Denial berdiri di belakangnya. Saat perempuan itu tersadar, ia memaksa pihak rumah sakit mengizinkannya keluar meski hanya sebentar, Karenina benar-benar memohon meski kondisinya masih belum layak untuk keluar dari rumah sakit, ia baru saja operasi dan harus jalani istirahat. Nyatanya, mimpi yang hadir itu membuat Karenina terus saja gelisah, ia tak bisa tenang saat matanya kembali terpejam. Karenina merasa mimpinya adalah sebuah firasat, ternyata benar, Royan menyampaikan salam perpisahan lewat sebuah mimpi, ia meninggal di rumah sakit Singapura.

Terlihat dari kejauhan saat peti mati dimasukan ke dalam liang lahat, ibunda Royan yang pertama melempar sekepal tanah sebelum dilanjut oleh sang ayah dan keluarga yang lain. Angkasa lumayan mendung meski menyisakan sedikit cahaya matahari, kamboja putih berjatuhan diterpa angin, rumput liar bergerak seakan menarikan tarian kematian, begitu pelan dan magis. Pemakaman adalah hal paling akhir untuk kehidupan setiap orang, siapa pun akan bersemayam di dalam sana, ditinggalkan jika telah usai, didoakan setiap waktu dan berakhir menjadi sebuah kenangan. Royan pun akan begitu untuk Karenina.

"Saya pikir hidup saya udah damai." Akhirnya perempuan itu sudi berbicara, ia menatap proses pemakaman dari jauh tanpa mengidahkan Jesslyn yang masih berlutut di depannya. "Kenapa banyak orang berkhianat, apa itu kewajiban mereka? Bahkan oma saya sendiri juga berkhianat, kalau saya nggak dibutuhkan, kenapa saya dilahirkan?" Ia menarik satu tangannya dari Jesslyn, menunduk seraya remas bagian dada—di mana jantungnya berada, sakit sekali saat kelopak matanya terbuka dan harus menghadapi banyak fakta menyakitkan lagi.

"Karen, kamu nggak apa-apa?" Denial mulai cemas, ia ikut berlutut di sisi Jesslyn. "Kita balik ke rumah sakit aja, ya?"

Karenina menggeleng, ia menengadah perlihatkan wajahnya, mata memerah itu kentara pertontonkan kesedihan. "Saya mau di sini sampai pemakaman Royan selesai, saya pikir dia juga berkhianat, kenapa dia nggak jujur aja ...." Ia menunduk lagi, sesenggukan cukup keras menahan amuk dada yang kian menggelepar. "Sakit begini, kalau aja kamu mau jujur, Royan. Saya nggak akan berpikir macam-macam, kecewa cuma pil pahit. Kenapa begini ...."

Schatje (completed)Where stories live. Discover now